Rabu, 11 Maret 2009

4. Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Perpustakaan

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pendidikan anak usia dini (PAUD)
adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak
sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan
melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak
memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Pendidikan anak usia dini merupakan kunci utama sukses
tidaknya sebuah program pendidikan nasional suatu bangsa.
Penelitian di bidang neurologi menyebutkan selama
tahun-tahun pertama, otak bayi berkembang pesat dengan
menghasilkan neuron yang banyaknya melebihi kebutuhan.
Sambungan itu harus diperkuat melalui berbagai rangsangan
karena sambungan yang tidak diperkuat dengan rangsangan
akan mengalami atrohy (menyusut dan musnah). Banyaknya
sambungan inilah yang mempengaruhi kecerdasan anak. Dosis
rangsangan yang tepat dan seimbang akan mampu
melipatgandakan kemampuan otak 5 hingga 10 kali kemampuan sebelumnya.

Ironisnya, pemerintah kita terhitung terlambat dalam
memberikan perhatian kepada anak usia dini. Mereka
dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam kondisi "ala
kadarnya".

Sampai saat ini diperkirakan 80 persen
anak usia dini belum tersentuh PAUD. Tatkala anak usia
dini di Singapura sudah terjangkau semuanya dengan PAUD,
anak usia dini di Indonesia masih dibayang-bayangi oleh
ancaman gizi buruk. Data tahun 2002 menunjukkan 1,3 juta
anak Indonesia mengalami kekurangan gizi. Padahal menurut
Azrul Anwar (2002) setiap anak dengan gizi buruk beresiko
kehilangan IQ hingga 10 - 13 poin. Ini berarti
bangsa kita beresiko kehilangan IQ sekitar 22 juta poin.

Secara kualitas maupun kuantitas PAUD masih belum bisa
berjalan sesuai dengan harapan. PAUD yang diselenggarakan
melalui jalur pendidikan formal seperti Taman Kanak-Kanan
dan sejenisnya hanya bisa diakses oleh golongan menengah
ke atas. Masyarakat menengah ke bawah lebih suka langsung
menyekolahkan anaknya ke jenjang Sekolah Dasar untuk
menghemat biaya. Bagi masyarakat lapisan ini masih bisa
titip anak ke Taman Pendidikan Al Quran di Masjid sudah
merasa 'legaaa'.

Yang memprihatinkan saat ini muncul gejala komersialisasi pendidikan anak usia dini dengan menjamurnya TK 'unggulan dan terpadu';. Bagi masyarakat
'pas-pasan'; jangan harap bisa menyekolahkan
anaknya di TK 'unggulan dan terpadu'; ini. Di
kota kecil saja sudah berkisar 2 jutaan, di kota sedang
seperti Solo berkisar 5 jutaan, dan di kota besar seperti
Jakarta konon mencapai angka 10 jutaan atau mungkin bisa
lebih.

Selain gejala komersialisasi, pendidikan anak usia dini juga diwarnai oleh pembebanan yang 'overdosis' terhadap anak. Anak usia dini memperoleh perlakuan yang sama dengan anak usia sekolah dasar. Pembelajaran terlalu fokus pada kemampuan baca, tulis, dan hitung. Orang tua dan guru akan senang sekali jika balita maupun batitanya sudah lancar membaca dan menulis. Sebaliknya akan merasa gundah jika balita dan batitanya belum lancar membaca dan menulis.
Salah kaprah ini terus berlanjut ketika sang anak harus mengikuti tes/ujian masuk SD (Sekolah Dasar). Cukup banyak SD favorit yang menyaring calon siswa dengan menguji
kemampuan baca-tulisnya. Seolah hendak mengatakan bahwa
syarat masuk SD tersebut adalah sudah lancar baca-tulis.
Sehingga guru SD Klas 1 nanti tak perlu repot-repot
mengajari peserta didik baca dan tulis. Padahal orang tua
menyekolahkan anak ke SD adalah supaya anaknya diajari
baca dan tulis.

Dunia anak adalah dunia bermain. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) harus bertitik tolak dari kaidah ini. Pembelajaran anak usia dini harus dibedakan dengan pembelajaran anak usia sekolah dasar. Nuansa bermain tak boleh hilang dari model pembelajaran anak usia dini.

Pembebanan yang berlebihan justru akan berakibat kontaproduktif bagi perkembangan sang anak. Anak bisa menjadi trauma dengan membaca, menulis, dan berhitung. Jadi, pembelajaran pada anak usia dini mestinya lebih bersifat memberi rangsangan pada anak agar tumbuh minatnya dalam membaca, menulis, dan berhitung. Fauzil Adhim (2006) menyebutnya dengan 'semangati jangan bebani'.

PAUD Berbasis Perpustakaan

Perpustakaan dapat dijadikan salah satu alternatif untuk meningkatkan akses anak usia dini terhadap PAUD. Perpustakaan umum kabupaten/kota dapat membuka layanan
khusus anak. Layanan anak ini diberi ruang tersendiri yang
terpisah dengan layanan remaja dan dewasa. Layanan anak
ini sangat relevan jika dikaitkan dengan visi dan misi
perpustakaan yaitu meningkatkan minat baca masyarakat.
Membuka layanan anak berarti merupakan upaya untuk
menumbuhkan minat baca sejak usia dini.

Ruang layanan anak dapat disulap menjadi dunia yang layak
bagi anak-anak. Dunia, di mana semua anak memiliki peluang
cukup besar untuk mengembangkan kapasitas individual
mereka dalam lingkungan yang aman dan supportif. Dunia
yang mendorong perkembangan fisik, psikologis, spiritual,
sosial, emosional, kognitif dan budaya anak-anak sebagai
prioritas nasional dan global.

Alat permainan edukatif dapat menjadi pilihan cerdas
perpustakaan untuk membuat anak-anak betah bermain di
ruang layanan anak. Penggunaan alat permainan edukatif ini
memiliki manfaat, pertama, untuk membantu perkembangan
emosi sosial anak. Balok bangunan, aneka macam mozaik,
puzel lantai, dan papan permainan menurut para ahli sangat
bermanfaat bagi anak untuk belajar menguasai emosi
sosialnya.

Kedua, untuk mengembangkan kemampuan motorik halus
seorang anak. Dalam hal ini dapat digunakan lilin, bikar,
papan tulis, kertas, alat tulis, alat pasang memasang,
kerikil, dan gunting. Penggunaan alat permaianan ini
sangat penting untuk meningkatkan koordinasi antara mata
dan tangan. Ini bertujuan agar anak dapat membuat garis
lurus horizontal, garis lurus vertikal, garis miring
kanan, garis miring kiri, garis lengkung, maupun
lingkaran.

Ketiga, untuk mengembangkan kemampuan motorik kasar
seorang anak, yaitu kemampuan menggunakan otot besar.
Arena mandi bola (melempar dan menagkap bola), titian
bambu (meniti sambil melihat lurus ke depan), perosotan,
ayunan, dan lompat tali merupakan kegiatan permainan yang
dapat menggerakkan bagian-bagian tubuh dengan tangkas dan
tegas.

Keempat, untuk mengembangkan kemampuan berbahasa seperti
mendengar, berbicara, membaca, menulis, dan menyimak.
Untuk meningkatkan kecerdasan berbahasa ini dapat
dipergunakan kumpulan gambar binatang, gambar tumbuhan,
gambar pemandangan alam, gambar panca indera, gambar
anatomi tubuh, gambar huruf, gambar angka, dan cerita
bergambar.

Agar anak-anak semakin menikmati perpustakaan, maka di
ruang layanan anak dapat di gelar layanan mendongeng.
Mendongeng merupakan tradisi lisan tertua di dunia yang
hingga kini belum tergantikan oleh tayangan televisi
maupun VCD sekalipun. Ada nuansa khas tersendiri dalam
mendongeng, yaitu terciptanya komunikasi dua arah antara
pendongeng dan anak-anak. Inilah yang tidak dapat
dilakukan oleh televisi maupun VCD.

Prosesi mendongeng tak perlu disampaikan sampai tamat,
cukup sampai pertengahan. Hal ini bertujuan agar sang anak
yang mencari dan belajar 'membaca'sendiri
buku tersebut. Dengan demikian terjadilah sinergi antara
tradisi lisan dan tradisi baca.

Layanan anak usia dini oleh perpustakaan ini memiliki
beberapa keunggulan, pertama, bersifat gratis. Bagi
masyarakat yang tidak mampu menyekolahkan anaknya ke TK
dapat memanfaatkan layanan ini.

Kedua, bersifat terbuka. Ruang layanan anak dapat diakses
oleh siapapun tanpa membedakan status sosial, ekonomi,
agama, suku, ras, dan golongan. Golongan menengah ke
bawah yang selama ini terpinggirkan dapat memanfaatkan
ruang layananan anak ini untuk memberi kesempatan kepada
batita dan balitanya bermain sambil belajar. Berekreasi di
perpustakaan.

Ketiga, menumbuhkan semangat membaca sejak dini. Dengan
bermain di perpustakaan anak-anak sudah diperkenalkan
sejak dini bahwa perpustakaan dengan segala aktivitas di
dalamnya merupakan tempat yang menyenangkan. Dalam
perkembangan selanjutnya diharapkan anak tidak menganggap
membaca, menulis, dan berhitung sebagai pekerjaan yang
membosankan melainkan menyenangkan.

sumber:

Ditulis oleh Romi Febriyanto Saputro, S.IP
PNS di UPTD Perpustakaan Kab. Sragen JL. Pemuda No. 1 SRAGEN 57214. http://www.wedangjae.com/index.php?option=com_content&task=view&id=238&Itemid=30

5. Anak Belajar, Negara Membayar

      Sembilan bulan lalu, negeri ini dihebohkan bencana gempa tektonik dan 
badai tsunami yang melanda Aceh dan Sumatera Utara (Sumut). Tsunami yang ganas 
itu meluluhlantakkan fasilitas pendidikan. Banyak guru menjadi sahid, anak 
sekolah menjadi yatim piatu, sekolahnya musnah, peralatan belajar hilang entah 
ke mana. Singkatnya, pendidikan anak terancam kelangsungannya. 
      Jika ditilik dari UU Sistem Pendidikan nasional (UU Sisdiknas), 
pendidikan yang terjadi atau terbengkalai dalam bencana tsunami, mestinya masuk 
dalam skema pendidikan layanan khusus. Apakah kita sudah memiliki pendidikan 
layanan khusus? Ternyata belum. Perintah pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) 
tentang pendidikan layuanan khusus yang memayungi pendidikan darurat belum 
dibuat hingga kini. 
      Pendidikan layanan khusus, bukan cuma ada dalam kasus tsunami. 
Sebenarnya, sejak lama di pulau-pulau kecil dan terpencil, misalnya di Pulau 
Bertam, Kepulauan Riau (Kepri), dikenal kelompok masyarakat suku laut. 
      Dalam suatu kesempatan pembicaraan dengan ibu Sri Sudarsono, tokoh 
masyarakat level nasional yang tinggal di Batam, mengisahkan bagaimana situasi 
unik yang disandang suku laut. "Mereka suku laut belajar di laut." Demikian 
antara lain pengalaman kisah Sri Sudarsono mendampingi suku laut yang 
dituliskan dalam bukunya, "Menantang Gelombang - Kehidupan Suku Laut di Pulau 
Bertam Perairan Batam". Sebagian bayi lahir di laut. Lantas segera pula 
dimandikan air laut yang asin. Diyakini, air laut berguna sebagai antibody bagi 
bayi. 
      *** 
      Untuk kepentingan terbaik bagi anak-anak, pendidikan dalam kondisi 
bagaimanapun, termasuk keadaan darurat (in emergencies situation), denyutnya 
mesti terus diselamatkan. Dari laporan pengalaman berbagai situasi darurat, 
konflik sosial, ataupun konflik bersenjata, pengabaian hak pendidikan anak 
paling sering terbukti. UNICEF (Badan PBB untuk Dana Anak-anak) menuliskan 
bahwa, "In emergencies, children are frequently denied this right". Inilah 
rasional yuridis (legal reason) mengapa Konvensi PBB tentang Hak Anak (KHA) 
menghormati hak pendidikan sebagai hak fundamental anak (education is a 
fundamental right of all children). 
      Di samping argumentasi legal formal itu, dalam "Technical Notes: Special 
Considerations for Programming in Unstable Situations" yang diterbitkan UNICEF, 
diuraikan beberapa alasan mengapa penting menyediakan akses pendidikan anak 
dalam situasi krisis. 
      Pertama, pendidikan adalah hal fundamental anak. Kedua, Keadaan darurat 
adalah etape yang kritis bagi perkembangan anak. Ketiga, pendidikan dapat 
membantu anak dalam menghentikan trauma atau efek krisis . Keempat, pendidikan 
dapat membantu perasaan normal anak dan masyarakat. 
      Kelima, lingkungan pendidikan penting bagi anak untuk ditempatkan pada 
lingkungan yang aman. Keenam, pendidikan bagi anak dalam keadaan darurat 
berguna sebagai medium membangkitkan daya kejuangan anak, membangun 
solidaritas, dan spirit rekonsiliasi. Di samping itu, pendidikan darurat ini 
relevan untuk membangun partisipasi masyarakat dalam pendidikan anak. 
      Kendati dalam situasi darurat, tidak mengeliminasi penyelenggaraan 
pendidikan anak yang berkualitas kurang. Anak dalam situasi darurat berhak atas 
pendidikan dengan kualitas bagus. 
      Pemerintah wajib menyediakan pendidikan yang berkualitas dan non 
diskriminasi (vide Pasal 11 ayat 1 UU No 20/2003). Dan, menjamin pendidikan 
anak yang berbasis kesetaraan kesempatan. 
      Untuk menjamin good quality pendidikan dasar anak dalam situasi darurat 
itu, masalah kualitas bagus ini meliputi lima aspek kunci. Pertama, pemberi 
pelajaran, yakni memiliki kemampuan dan sehat. Kedua, konten pelajaran, yakni 
konten yang relevan, aksesible. 
      Ketiga, proses belajar, yakni proses belajar yang mampu memberdayakan dan 
efektif . Keempat, lingkungan belajar yakni lingkungan belajar yang aman, sehat 
dan adil. Kelima, hasil pelajaran yakni hasil perolehan yang terukur, relevan, 
dan mencerminkan dimensi yang sensitif gender. 
      Dengan demikian, upaya pemenuhan hak atas pendidikan dasar anak dalam 
skema palayanan khusus, mestilah dikelola berbasis kepada kebijakan atau 
regulasi. Bukan hanya berbasis kepada kebijakan insidental, reaktif atau malah 
personal. Atau bahkan hanya berbasis kepada pesan telepon saja. 
      Beberapa strategi praktis dapat diperoleh dari akumulasi 
pengalaman-pengalaman masyarakat. Pertama, memobilisasi komunitas/ masyarakat 
untuk mengupayakan pelayanan pendidikan dasar. Memobilisasi dan mendorong aksi 
dari komunitas/ masyarakat menyelenggarakan pendidikan dasar, menjadi prioritas 
segera dalam program pendidikan darurat. 
      Kedua, menyiapkan berbagai kesempatan pelatihan bagi guru-guru, 
para-profesional, dan anggota masyarakat. Pelatihan ini berguna untuk 
menyiapkan skil dan mentalitas para guru dan pengelola sekolah dalam menghadapi 
situasi darurat, yang diidentifikasi secara spesifik dan jelas di kawasan 
sekolahnya. Sehingga langsung bisa diterapkan, diuji-latihkan dan dibiasakan. 
      Ketiga, menjamin pengupayaan segera peralatan dan material untuk 
pendidikan dasar. Belajar dari pengalaman di Somalia ataupun Ruwanda (besama 
UNESCO), bisa mengembangkan atau menduplikasi berbagai material, seperti 
Scholl-in a- Box. 
      Keempat, mengupayakan persetujuan mengenai kurikulum yang relevan, 
mengggambarkan material yang tersedia dan di mana diperoleh, dan menambah 
kemampuan dalam menghadapi krisis. Dalam keadaan darurat, dokumen kurikulum dan 
material pendukung pendidikan bisa musnah. 
 
      Dalam masa bencana atau konflik, kerap pula kurikulum yang biasa atau 
yang tersedia tidak lagi relevan dengan situasi mental anak didik. Karenanya, 
perlu pengembangan segera material kurikulum yang relevan bagi kebutuhan lokal. 
 
      Kelima, memajukan konsepsi untuk menciptakan adanya kesempatan rekreasi 
dan bermain bagi anak. Dalam situasi darurat, masa untuk bermain terbatas. 
Padahal, terapi bermain (playing teraphy) bisa membantu anak ke luar dari 
trauma psiko-sosial yang dideritanya. 
      Rekreasi dan bermain adalah bagian dari proses pendidikan, dan diperlukan 
untuk efektivitas pembelajaran anak. Bermain adalah terapi yang terbukti 
efektif mengatasi trauma anak pasca bencana ataupun konflik. 
      Keenam, memajukan konsepsi untuk menciptakan rehabilitasi sistem 
pendidikan (yang menyerap pendidikan dalam situasi darurat), sekolah dan 
ruangan kelas. Ketujuh, melakukan advokasi untuk kegiatan pendidikan dan 
mendorong kordinasi dengan kelembagaan lain. 
      Negara menjadi pendidikan anak, dalam sityasi apapun. Karena sudah 
menjadi perintah konstitusi kepada pemerintah untuk menciptakan sistem 
pengajaran nasional. Tentunya, dengan mengintegrasikan sub sistem pendidikan 
layanan khusus, yang diperintahkan UU Sisdiknas. 
      Anak-anak korban tsunami, anak korban konflik sosial, anak di pulau 
terpencil perbatasan Filipina, anak suku laut di Kepri, anak-anak dipedalaman 
gunung Jayawijaya, atau anak suku Kubu, tetap berhak atas pendidikan. Negara 
berkewajiban memberikan hak itu. Anak Belajar, negara membayar. 
sumber:
http://www.freelists.org/post/nasional_list/ppiindia-Anak-Belajar-Negara-Membayar,1

4. Penyelenggaraan Kelas Layanan Khusus (KLK)

Dinas Pendidikan Kota Semarang merupakan salah satu dari 35 kota/kabupaten penyelenggara Kelas Layanan Khusus (KLK) di Indonesia. Program Kelas Layanan Khusus adalah program layanan pendidikan bagi anak usia SD yang putus sekolah atau sama sekali belum bersekolah pada usia 7 - 14 tahun. Tujuannya agar anak-anak usia tersebut yang putus sekolah atau belum pernah bersekolah dapat memperoleh layanan pendidikan di SD sampai tamat.

Penyelenggaraan Kelas Layanan Khusus di suatu sekolah bersifat tidak permanen. Tugas sekolah sebagai Penyelenggaraan Kelas Layanan Khusus akan berakhir ketika di sekitar sekolah sudah tidak ada lagi anak-anak usia SD yang putus sekolah atau belum bersekolah. Oleh karena itu setiap tahun pelajaran baru diadakan verifikasi terhadap kelayakan SD penyelenggara KLK. SD. Badarharjo 02 Kecamatan Semarang Utara pada tahun pelajaran 2008/2009 masih termasuk salah satu SD yang berhak menyelenggarakan KLK sesuai dengan verifikasi Dir. Pembinaan TK/SD.

sumber: http://www.disdik-kotasmg.org/v8/index.php?option=com_content&task=view&id=82&Itemid=1

3. Anak Pengungsi Atambua Butuh Pendidikan Layanan Khusus

Mandikdasmen (Atambua, NTT): "Tatapan anak-anak itu begitu penuh harapan ketika kami datang" BEGITULAH petikan yang diutarakan oleh salah satu staf dari lima staf dari Direktorat Pembinaan SLB yang datang khusus melihat secara dekat kondisi anak-anak pengungsi di Atambua, Nusa Tenggara Timur, perbatasan dengan Timor Leste, awal Maret lalu.

Setelah Timor Timur (Timtim) berdaulat menjadi Timor Leste beberapa tahun lalu kemudian disusul dengan kondisi politik dan keamanan Timor Leste bulan Februari 2008 yang tidak kondusif, mengakibatkan banyak pengungsi yang 'lari' ke wilayah RI, Atambua.

Para pengungsi itu ditempatkan dibeberapa wilayah di NTT. Biasanya tempat tinggal mereka dekat dengan markas Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Hal ini agar para pengungsi dapat dipantau lebih dekat oleh pihak keamanan.

Untuk perjalanan darat dari ibukota NTT yaitu Kupang menuju Atambua akan menempuh waktu enam hingga tujuh jam. Melewati empat kabupaten, yaitu Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Bone.

Sementara perjalanan lewat udara, kurang dari setengah jam. Namun jadwal perjalanan melalui udara terbatas. Pesawat kecil yang dapat mengangkut puluhan orang itu hanya ada dua minggu sekali.

Ribuan Anak Pengungsi

Ada tiga titik wilayah konsentrasi di Kabupaten Belu yang menjadi target pelayanan pendidikan di wilayah Kecamatan Kota Atambua ini yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin.

Anak-anak korban konflik dan anak pengungsi di wilayah ini mencapai ratusan. Bahkan kabarnya bisa lebih dari 1.000 anak.

Anak-anak ini merupakan anak berusia sekolah 7-18 tahun. Mereka terdiri dari anak-anak yatim-piatu, anak-anak yang terpisah karena orang tuanya masih berada di Timor Leste, dan anak pengungsi dari orang tua yang ekonomi tidak mampu.

Bantuan Alat

Pada dasarnya mereka sudah mengenal baca, tulis dan hitung. Sehingga tidak ada kesulitan dalam pengembangan pendidikan selanjutnya.

Sehingga pihak pengelola layanan pendidikan di ketiga kelurahan ini menginginkan pendidikan yang layak bagi anak-anak pribumi yang kurang mampu dan anak-anak pengungsi ini. Karena saat ini sarana dan fasilitas masih terbatas. Selain buku-buku pelajaran, diperlukan sarana keterampilan seperti alat bengkel otomotif, alat tenun, alat jahit, dan alat boga.

"Kami mohon bantuan untuk penye-diaan fasilitas proses belajar mengajar dan sarana keterampilan lainnnya. Pasalnya saat ini sarana belajar dan keterampilan belum memadai. Saat ini anak-anak belajar di ruang kelurahan," kata Mikhael Mali sekalu Kepala Kelurahan Fatubanao.

Anak-anak yang ditampung dalam proses belajar mengajar di Fatubanao ada sebanyak 60 anak. Mereka berusia antara 12-19 tahun ini merupakan campuran dari anak-anak pribumi Atambua dan anak-anak eksodus dari Timor Leste.

Sementara di Kelurahan Tenuki'ik ada sebanyak 20 anak yang berusia 13-17 tahun. Sebanyak 16 anak diantaranya merupakan anak pengungsi.

Sedangkan di Kelurahan Manumutin ada sebanyak 35 anak. Seluruhnya anak pengungsi. Sebanyak 33 orang merupakan usia sekolah yaitu 16-18 tahun. Dua orang lainnya berusia 19 tahun dan 30 tahun.

Layanan Tutor

Selama ini, anak-anak itu diberikan pembekalan pendidikan dan keterampilan oleh lima tutor yang dibina oleh Yayasan Purnama Kasih. Agar para tutor ini merasa nyaman dalam membina anak-anak pengungsi itu, mereka diberikan honor Rp 600.000 dan sejumlah asuransi yaitu jaminan kecelakaan, jaminan kesehatan, jaminan hari tua dan jaminan kematian senilai Rp 2juta per bulan.

"Ini belumlah sebanding dengan pengabdian mereka dalam membina anak-anak ini," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih.

Saat ini mereka belajar dua hari dalam seminggu. Satu hari mereka belajar formal dan hari lainnya belajar keterampilan selama 2-3 jam. Anak-anak yang ditampung dalam pelayanan pendidikan ini nantinya akan bergabung dalam Sekolah PLK di Atambua.

"Mereka akan memperoleh 20 persen muatan pendidikan formal dan 80 persen keterampilan dengan kearifan lokal," kata Ahryanto.

Anak Pengungsi Itu Jadi Penambang Batu

Ketiga kelurahan di Kecamatan Kota Atambua, Kabupaten Belu, yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin merupakan daerah rawan kriminal seperti pemalakan, penodongan, perampokan, perkelahian dan pembunuhan. Banyak juga yang suka mengemis.

"Pada dasarnya para pengungsi ini memiliki karakter yang mudah curiga dengan orang, terutama orang asing," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih yang menjadi pemandu perjalanan ke Atambua. Namun hal tersebut dapat diminimalisir karena sebagian besar wilayah ini dikuasai oleh TNI-AD.

Anak-anak yatim-piatu dan mereka yang terpisah dengan orang tuanya, biasanya ditampung oleh para sanak keluarga yang berada di Atambua. Namun keluarga yang menampung anak-anak ini juga tidak sanggup untuk membiayai sekolah mereka.

Bagi anak-anak pribumi (Atambua) dari keluarga yang kurang mampu mereka mesti bertahan hidup bersama orang tuanya dengan berkebun atau berdagang, bahkan tak sedikit yang menjadi tukang ojek.

Sementara anak-anak pengungsi dan korban konflik tidak banyak yang bisa mereka lakukan, sehingga hal ini yang menyebabkan kerawanan di daerah tersebut. Namun anak-anak yang mandiri, mereka akan ikut serta menjadi 'penambang' batu kali. Jumlah penambang batu ini mencapai ratusan anak usia sekolah.

Anak-anak tersebut menjadi penambang untuk menyambung hidupnya, karena kabarnya tidak banyak keluarga setempat yang mau memelihara mereka karena berbagai macam alasan.

Batu kali itu dikumpulkan dari sepanjang Sungai Talao, yaitu sungai besar yang melintasi Kota Atambua di wilayah Fatubanao. Setiap rit atau sekitar tiga kubik batu yang telah dipecahkan atau batu-batu kecil dihargai Rp 200.000. Lalu batu-batu itu dijual kepada agen digunakan sebagai pembangunan jalan, atau pengecoran bangunan.

sumber:
http://mandikdasmen.aptisi3.org/index.php?option=com_content&task=view&id=22&Itemid=34

2. Masyarakat Harus Dukung Pendidikan Layanan Khusus

KUPANG,SABTU-Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) harus mendukung pendidikan layanan khusus. Program ini diprioritaskan untuk anak usia sekolah di lokasi bencana, pulau atau desa terisolir, anak-anak dari keluarga sangat miskin, terbelakang, dan tidak punya orangtua.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Tobias Uly di Kupang, Sabtu (11/10) mengatakan, pendidikan layanan khusus diprioritaskan bagi anak-anak termarjinal. Mereka yang selama ini tidak mendapat pelayanan pendidikan sama sekali karena berbagai persoalani. "NTT anak-anak kelompok marjinal ini cukup banyak, selain karena kemiskinan juga kondisi wilayah kepulauan yang sangat sulit dijangkaui. Saat ini sedang dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka proaktif memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengikuti program ini,"katanya.

Peluncuran program ini untuk membantu kelompok masyarakat usia sekolah dasar yang selama ini tidak pernah tersentuh pendidikan. Diharapkan program ini dapat mengatasi kasus buta aksara di NTT yang sampai saat ini mencapai 300.000 lebih. Pendidikan bagi anak anak yang tergolong marjinal tidak dipungut biaya seperti sekolah formal. Guru-guru yang mengajar, adalah guru negeri.

Proses belajar mengajar disesuaikan dengan kondisi dan tempat tinggal para calon siswa. Pendidikan ini juga mengeluarkan ijazah yang sama seperti sekolah formal. Tetapi jenjang pendidikan layanan khusus hanya berlaku bagi tingkat sekolah dasar, dan masuk SMP mereka sudah bisa bergabung di sekolah formal. Diutamakan dalam pendidikan ini adalah keterampilan siswa untuk bisa menulis, membaca dan menghitung. Dengan modal ini mereka bisa lanjut ke SMP, dan tidak masuk kategori buta aksara lagi.

sumber: http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/11/18122444/masyarakat.harus.dukung.pendidikan.layanan.khusus

1. Pendidikan Layanan Khusus untuk Daerah-daerah Bencana

Jakarta, Kompas - Model pendidikan di daerah pascabencana gempa bumi dan tsunami Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut) hendaknya disertai kebijaksanaan dan perlakuan khusus, mengingat situasinya sangat tidak normal dibandingkan daerah-daerah lainnya. Perlakuan serupa juga harus diberikan kepada daerah-daerah yang sebelumnya dilanda gempa bumi, seperti Alor di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nabire di Papua.

Pendidikan layanan khusus bisa diwujudkan antara lain dengan membangun sekolah berasrama atau pesantren. Terhadap siswa dan mahasiswa yang kehilangan dokumen dalam melanjutkan pendidikan, seperti ijazah dan rapor, harus diberikan kemudahan administratif.

Demikian kesimpulan Rapat Kerja Komisi X DPR dengan Menteri Pendidikan Nasional di Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta, Kamis (13/1). Rapat yang dipimpin Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi tersebut secara khusus membahas langkah-langkah penanganan pascabencana alam di NAD dan Sumut, serta Papua dan NTT.

Pada kesempatan itu, Mendiknas Bambang Sudibyo antara lain didampingi Sekjen Depdiknas Baedhowi, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi, dan Dirjen Pendidikan Tinggi Satryo Soemantri Brodjonegoro.

Wakil Ketua Komisi X DPR Anwar Arifin menegaskan, pendidikan layanan khusus di daerah bencana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 32 Ayat (2) berbunyi: pendidikan layanan khusus diberikan kepada peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

Berkaitan dengan itu, Mendiknas telah menyiapkan langkah-langkah penanganan jangka pendek (1-6 bulan) dan jangka panjang (4-5 tahun). Penanganan jangka pendek bertujuan memulihkan kembali kelangsungan proses pembelajaran dalam situasi darurat. Tahapan ini mencakup pendidikan formal (persekolahan) dan non formal (luar sekolah).

Pada jalur formal, Depdiknas sedang membangun sekolah tenda dengan kapasitas 40 orang per kelas. Setiap kelas ditangani tiga orang guru. Sekolah darurat didirikan di sekitar lokasi pengungsian sehingga kegiatan belajar-mengajar sudah bisa dimulai paling lambat 26 Januari 2005.

Guru bantu

Khusus untuk wilayah NAD, Depdiknas juga segera mengisi kekurangan tenaga guru yang meninggal akibat bencana. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi mengatakan, pada tahap awal, guru bantu yang ditugaskan di NAD tidak lain adalah para guru bantu yang baru saja dikontrak untuk daerah itu.

"Kebetulan, pada akhir 2004, di NAD telah dikontrak sekitar 3.000 guru bantu. Untuk sementara mereka itulah yang diterjunkan mengisi kekurangan guru di daerahnya," ujar Indra.

Ia menambahkan, jumlah yang dibutuhkan untuk bertugas di sekolah-sekolah darurat di sekitar kamp pengungsi sekitar 2.800 orang. Daripada gegabah mengontrak guru bantu baru, akan lebih efektif jika guru yang sudah telanjur dikontrak tadi difungsikan secara optimal.

Lagi pula, secara sosio-kultural, para guru bantu tersebut sudah paham situasi masyarakat Aceh. Peran ganda mereka sangat dibutuhkan untuk membangkitkan semangat hidup para murid dan guru agar bisa melupakan trauma bencana.

"Jika nanti ternyata masih dibutuhkan tambahan guru bantu, tentu ada perekrutan guru bantu sesuai jumlah yang dibutuhkan," ujar Indra.

Jumlah yang dibutuhkan disesuaikan dengan jumlah sekolah darurat maupun sekolah permanen yang didirikan pascabencana. Sekolah darurat maupun sekolah permanen yang dibangun itu mungkin hanya 70-80 persen jumlahnya dari sekolah yang rusak. Sebab, dua-tiga sekolah yang kekurangan murid dapat digabung jadi satu.

Pada jalur nonformal, Depdiknas dan para relawan dalam situasi darurat belakangan ini memberikan layanan pendidikan untuk membangkitkan semangat hidup para korban di kamp-kamp pengungsi. Layanan yang dimaksud berupa program pendidikan anak usia dini bagi usia 0-6 tahun, taman bacaan masyarakat bagi anak usia 7-18 tahun, serta kecakapan hidup bagi usia 18 tahun ke atas.

Kepada pers seusai rapat, Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan, ujian akhir pada setiap jenjang pendidikan di daerah bencana akan tetap dilakukan. Karena situasinya tidak normal, waktu ujian akhir dan standar soalnya tentu dirancang khusus.

Meski begitu, Mendiknas mengisyaratkan akan tetap menerapkan standar angka kelulusan secara nasional. "Ibarat net untuk main voli, standar kelulusan itu harus tetap distandarkan. Kalau netnya kerendahan, semua orang nanti bisa men-smash," katanya.

Guna menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang bahaya gempa dan tsunami, Komisi X meminta Depdiknas memperkaya muatan kurikulum SD hingga perguruan tinggi mengenai langkah antisipasi.

Berkait dengan penggunaan anggaran untuk pemulihan kegiatan pendidikan, Komisi X menekankan prinsip kehati- hatian. Depdiknas diminta melaporkan secara rinci jumlah dan asal bantuan serta rencana alokasinya. Paling lambat Februari 2005, Depdiknas diminta mengajukan rencana menyeluruh dari rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana pendidikan di daerah-daerah bencana. (NAR/INE).

sumber :http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0501/14/humaniora/1499439.htm

5. TINGKATKAN SDM, TNI AL BUKA EMPAT PENDIDIKAN KHUSUS

Untuk meningkatkan kualitas dan keahlian sumber daya manusianya, TNI AL melalui Komando Pengembangan dan Pendidikan Angkatan Laut (Kobangdikal) membuka empat pendidikan kualifikasi khusus (Dikbrivet), Dikpaska, Diktaifib, Dikjursel dan Dikcawakasel yang dibuka secara resmi oleh Wakil Komandan Kobangdikal Brigjen TNI Marinir Halim A. Hermanto, di Lapangan Kihadjar Dewantara, Kobangdikal, Selasa (20/11).

Menurut Komandan Kobangdikal Laksda TNI Edhi Nuswantoro dalam amanatnya yang dibacakan Wadan Kobangdikal mengatakan, selain pengembangan organisasi, penambahan dan pemutakhiran teknologi alutsistanya, kemampuan prajurit yang handal juga menjadi prioritas utama, seperti halnya empat program pendidikan berkualifikasi khusus ini.

Dikaitkan dengan kondisi dan konstelasi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan dan lautnya yang terbuka, setengah terbuka dan tertutup, maka kehadiran naval power akan memberikan tiga keunggulan sekaligus, yaitu keunggulan sebagai unsur defensif yang mematikan, unsur ofensif yang efektif dan detterence factor yang baik, sehingga musuh akan takut dan mengurungkan niat jahatnya.

Menurutnya, strategi pertahanan negara kita harus mengedepankan strategi pertahananmaritim dengan memperhatikan kondisi geografis sebagai

negara kepulauan. Oleh karena itu,TNI AL harus mampu mewujudkan laut yang aman dan terkendali, yaitu kondisi laut yang bebas dari beberapa ancama, tegas Komandan Kobangdikal.

“sudah sepantasnya Indonesia mempunyai kekuatan Angkatan Laut setara Green Water Navy yaitu kekuatan yang dapat diandalkan untuk menegakkan stabilitas keamanan dan berkemampuan mengadakan perlawanan terhadap setiap ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan,” tegasnya.

Megenai pembukaan empat pendidikan brivet yang berada di bawah tanggungjawabnya, pendidikan Pasukan Katak yang kali ini diikuti 24 orang ini akan dilaksanakan selama 10 bulan dengan tujuan agar para siswa mampu melaksanakan tugas-tugas dalam operasi amfibi maupun tugas-tugas dalam peperangan khusus laut

Sementara itu 24 orang turut dalam pendidikan Calon Awak Kapal Selam yang akan digelar 9 bulan. Pendidikan Dikcawakasel bertujuan agar para siswa memiliki pengetahuan dan ketrampilan teknis kapal selam type 209 serta kecakapan khusus yang dapat ditugaskan sebagai pasukan bawah air.

Untuk Pendidikan Juru Selam yang diikuti 13 orang ini akan dilaksanakan selama 6 bulan dengan tujuan untuk mendidik para siswa menjadi juru selam TNI AL yang profesional guna mendukung kesiapan dan keselamatan bawah air khususnya KRI dalam suatu operasi di laut.

Pendidikan Intai Amfibi yang memiliki sisiwa terbayak dengan 61 siswa akan dilaksanakan selama 10 bulan. Diktaifib bertujuan agar para siswa menjadi prajurit taifib yang dapat melaksanakan tugas pengintaian dan penyelidikan dalam operasi amfibi dan operasi-operasi lain melalui darat, laut dan udara. (Pen Kobangdikal)

sumber: http://www.tnial.mil.id/Artikel/tabid/61/articleType/ArticleView/articleId/308/Default.aspx

4. A.S. Sumbang Dua Juta Dolar Untuk Pendidikan Khusus di Indonesia

Amerika Serikat melalui Badan Pembangunan Internasional A.S. (USAID) menandatangani perjanjian senilai dua juta dolar A.S. dengan organisasi nirlaba Helen Keller International (HKI) guna mendukung pendidikan anak dengan kebutuhan khusus di Indonesia.

Selama kurun waktu dua tahun, Program “Peluang Bagi Anak-anak Dengan Keterbatasan” (Opportunities for Vulnerable Children) yang dikelola oleh USAID-HKI ini, akan dilaksanakan di Jakarta guna memperkuat kapasitas manajemen dan pengajaran lembaga-lembaga rekanan pemerintah dalam memberikan pendidikan khusus dengan mutu yang lebih baik melalui pengembangan kebijakan dan program pendidikan yang akan meningkatkan akses ke sekolah-sekolah lokal dan kesempatan bagi anak-anak. Program ini akan dikembangkan dari kegiatan percontohan yang ditandai dengan pembukaan Pusat Penanganan Dini (Early Intervention Center) oleh Presiden Yudhoyono.

Program “Peluang Bagi Anak-anak Dengan Keterbatasan” ini merupakan bagian dari prakarsa Presiden Bush di bidang pendidikan senilai 157 juta dolar A.S. untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Melalui prakarsa ini, USAID akan melaksanakan program tersebut di seribu sekolah di Jawa, Sulawesi Selatan, Sumatra Utara, dan Aceh untuk memperkuat manajemen dan penataan pendidikan, meningkatkan mutu pengajaran dan pembelajaran guna meningkatkan prestasi murid, dan memberikan ketrampilan yang relevan untuk bekal hidup dan bekerja bagi anak-anak ini sehingga mereka akan lebih mampu bersaing dalam dunia kerja di masa yang akan datang.

Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi Caroline Gredler di (021) 3435 9376 atau cgredler@usaid.gov. Untuk informasi lebih lanjut mengenai berbagai kegiatan USAID di Indonesia, silakan mengunjungi www.usaid.gov/id.

sumber : http://indonesia.usaid.gov/en/Article.117.aspx

3. Malang Gelar Pendidikan Khusus Penderita Autis

Malang, Kominfo-Newsroom -- Pemerintah Kabupaten Malang, Jawa Timur, melalui kebijakannya sesuai amanat UUD 1945, serta UU Sisdiknas N0 20 Tahun 2003, akan segera melaksanakan pendidikan khusus (PK) dan pendidikan layanan khusus (PLK) bagi penderita autis.

Anak penderita autis atau anak-anak dengan berkebutuhan khusus (ABK) yang mengalami kelainan fisik, emosional, mental, sosial atau memiliki kecerdasan dan bakat istimewa berhak mendapat pendidikan guna menyongsong masa depan mereka lebih baik lagi.

Selain pendidikan khusus, pemkab Malang juga akan menambah sekolah inklusif (sekolah biasa) yang dapat mengakomodir semua anak berkebutuhan khusus (ABK) yang terpilih melalui seleksi dan memiliki kesiapan baik Kepala Sekolah, guru, orang tua peserta didik, tenaga administrasi serta lingkungan sekolah/masyarakat.

Saat ini jumlah sekolah inklusif yang ada di Kabupaten Malang baru delapan sekolah yang tersebar di delapan kecamatan, sedangkan SLB yang ada masih sangat terbatas dan letaknya jauh.

''Ke depan akan dikembangkan sekolah untuk ABK pada masing-masing kecamatan di tiap eks pembantu Bupati,'' kata Kadis P dan K, Drs Suwandi MM, MSC, pada acara sosialisasi pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus kerjasama Tim Penggerak PKK dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Malang, belum lama ini.

Ia mengharapkan, melalui kerjasama yang sinergi antara Dinas P dan K dan TP.PKK (Pokja II) dapat meningkatkan pemahaman terhadap masyarakat tentang arti pentingnya Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus bagi penderita autis guna menyongsong masa depan mereka lebih baik lagi.

sumber:(www.jatim.go.id/hsn/toeb)

2. Pemerintah Lamban Atasi Pendidikan Khusus

JAKARTA (Media): Perhatian pemerintah negara berkembang, termasuk Indonesia, pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus atau special needs masih sangat minim.

Padahal, jumlah anak dengan kebutuhan khusus yang menderita cacat seperti tuna netra, autistik, down syndrome, keterlambatan belajar, tuna wicara serta berbagai kekurangan lain, jumlahnya terus bertambah.

Pikiran di atas mengemuka dari Torey Hayden, pakar psikologi pendidikan dan pengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus asal Inggris (Kuliah Bahasa Inggris), yang juga telah menerbitkan buku berisi pengalamannya mengajar di Jakarta, kemarin.

Hayden mengungkapkan, jumlah anak dengan kebutuhan khusus di seluruh dunia terus bertambah. Kondisi serupa diperkirakan juga terjadi di Indonesia. Ia mencontohkan, diperkirakan penderita autisme di dunia mencapai satu dari 150 anak.

"Itu baru penderita autis saja, belum berbagai kekurangan lain. Berdasarkan penelitian diperkirakan jumlah anak dengan special needs, dan kriteria lain juga terus bertambah pesat, diduga terkait dengan gaya hidup dan kontaminasi berbagai polutan," ungkap Hayden yang sembilan bukunya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia itu.

Hayden menegaskan, idealnya pemerintah memberikan perhatian pada anak-anak dengan kebutuhan khusus, sama besarnya seperti yang diberikan pada murid-murid normal. Pasalnya, sebagian anak dengan kebutuhan khusus itu memiliki potensi intelektualitas yang tidak kalah dibandingkan teman-temannya sebayanya. Selain itu, pendidikan yang memadai serta disesuaikan dengan kebutuhan mereka juga akan membuat anak-anak tersebut, dapat hidup dengan wajar serta mengurangi ketergantungannya pada bantuan keluarga dan lingkungannya.

Namun, lanjut Hayden, dengan minimnya pendidikan yang diberikan pada mereka, anak-anak yang telanjur dicap cacat itu, justru akan menjadi beban sosial yang akan merepotkan keluarga dan lingkungannya. "Selain dibutuhkan jumlah sekolah yang memadai untuk mereka, juga diperlukan pola pendidikan yang tepat. Selain tentunya guru yang memadai dan benar-benar mencintai mereka," ujar penulis buku terlaris Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil, yang rencananya hari ini penulis yang kini tinggal di North Wales ini, bertemu Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) A Malik Fajar serta memberikan ceramah di Jakarta, Bandung serta Yogyakarta.

Untuk kasus Indonesia, konflik merebak di berbagai daerah, Hayden melihat dari berbagai sisi, telah membuat banyak anak mengalami trauma sosial. Mereka juga memerlukan pola pendidikan khusus berbeda dengan teman-temannya. Anak-anak yang pernah mengalami dan menyaksikan kekerasan, kata Torey, memerlukan pendekatan yang berbeda disesuaikan dengan kondisi psikologis mereka.

Anak-anak tersebut, urai Hayden, harus diyakinkan bahwa mereka dicintai lingkungannya. Selain memberikan muatan pendidikan formal, guru-guru pun, seharusnya mau mendengar keluh kesah mereka serta melakukan pendekatan psikologis lainnya.

"Ya, saya mendengar tentang kondisi di Indonesia. Jika kondisi traumatis itu dibiarkan begitu saja, kita tak akan tahu apa yang akan terjadi pada mereka nantinya setelah dewasa. Yang penting, bagaimana caranya agar anak-anak itu tetap memiliki harapan dan keyakinan tentang masa depan yang lebih baik, bahwa kondisi buruk yang terjadi sekarang bisa berubah nantinya," ujar Hayden.

Sementara itu, Haidar Bagir, Ketua Yayasan Lazuardi Hayati yang mengelola sekolah unggulan, dan mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus, di tempat yang sama, sepakat dengan pikiran yang digulirkan Hayden. Haidar mengungkapkan, selain mengalami kekurangan jumlah sekolah yang mengkhususkan diri pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus, Indonesia pun harus melakukan perbaikan pada kurikulum pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus.

"Padahal, jelas-jelas dalam Undang-Undang Dasar (UUD), disebutkan bahwa anak telantar dan anak cacat itu menjadi tanggungan negara. Jadi, yang dibutuhkan sekarang adalah sejauh mana amanat UUD itu bisa dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari. Namun, daripada menunggu pemerintah, kami mencoba bergerak lebih dahulu, termasuk memberikan Beasiswa bagi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah kami," tukas Haidar, Direktur Utama Mizan Publika, perusahaan yang menerbitkan buku-buku Torey Hayden.

sumber: http://www.rajaraja.com/news_detail.php?id_news=1072

1. PENDIDIKAN KHUSUS PROFESI ADVOKAT ANGKATAN V

Keberadaan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat yang diundangkan tanggal 5 April 2006, tidak saja memberikan kepastian hukum dan status hukum bagi advokat sebagai penegak hukum, yang berprofesi memberikan jasa hukum, (seperti : memberikan konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentngan klien), tetapi juga menuntut lahirnya advokat-advokat yang profesional, demi terciptanya hukum dan keadilan.

Syarat untuk menjadi advokat antara lain adalah lulus pendidikan tinggi hukum, telah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat, lulus ujian advokat, serta telah magang selama dua tahun berturut-turut di kantor advokat. Pelaksanaan pendidikan khusus dan ujian advokat menjadi kewenangan organisasi profesi. Selain itu organisasi profesi juga melakukan pengangkatan, pengawasan (oleh Dewan Pengawas) serta menindak, termasuk memberhentikan advokat (oleh Dewan Kehormatan).

Selama ini organisasi advokat tergabung dalam Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) yang dideklarasi oleh organisasi profesi Advokat Indoensia yang terdiri dari: Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal Indonesia (HKHPM), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Menurut Undang-Undang Advokat, organisasi profesi harus sudah terbentuk selambat-lambatnya 2 tahun. Amanat UU Advokat sudah terealisasi dengan dibentuknya Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).

Kewenangan yang diberikan kepada organisasi profesi Advokat (PERADI) untuk menyelenggarakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat, diharapkan dapat memenuhi standar kualitas profesi advokat. Oleh karena itu, perlu dipersiapkan kerangka dan rancangan materi program pendidikan khusus profesi advokat dengan jumlah sesi dan bobot dari masing-masing sesi mata ajar.

Kewenangan pada PERADI untuk menyelenggarakan pendidikan khusus profesi advokat, dapat dilaksanakan sendiri oleh PERADI maupun dilaksanakan oleh PERADI dan bekerjasama dengan perguruan tinggi dan lembaga-lembaga pendidikan/profesi lainnya.

Dalam kaitannya dengan maksud tersebut diatas, Unika Atma Jaya bekerjasama dengan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI).
sumber:
http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=4193

5. Pencarian Identitas Pendidikan Diniyah Di Indonesia

(Studi Kasus Penyelenggaraan Pendidikan Diniyah di Kaltim dan Kalsel)

Oleh: Anis Masykhur, MA

”Jika kami bertahan dengan pola madrasah diniyah konvensional, maka madrasah diniyah tidak akan mendapatkan murid. Maka dari itu, kami mengikuti pola TPA.”

Begitulah salah satu ungkapan pengelola madrasah diniyah di Samarinda Kalimantan Timur dalam mensikapi trend pergeseran model penyelenggaraan pendidikan diniyah, menjadi TK/TPQ atau MI. Pergeseran ini memang tidak memberikan perubahan pada minat masyarakat terhadap pendidikan agama, namun hanya berpengaruh terhadap kualitas target capaian dari sebuah proses pendidikan. Bahkan ikut merubah paradigma masyarakat dalam belajar agama. Semenjak adanya TK/TPQ ini, muncul pemahaman di sebagian masyarakat bahwa belajar agama sudah dirasa cukup jika si anak sudah mampu membaca Al-Quran. Padahal dalam tujuan pendidikan agama, hal seperti itu masih dirasa jauh dari cukup. Pandangan yang demikian inilah yang harus segera diluruskan, dengan membenahi pola penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan diniyah.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pendidikan keagamaan menginginkan terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis (tafaqquh fiddin).

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang ditindaklanjuti dengan disyahkannya PP No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan memang menjadi babak baru bagi dunia pendidikan agama dan keagamaan di Indonesia. Karena itu berarti negara telah menyadari keanekaragaman model dan bentuk pendidikan yang ada di bumi nusantara ini.

Keberadaan peraturan perundangan tersebut seolah menjadi ”tongkat penopang” bagi madrasah diniyah yang sedang mengalami krisis identitas. Karena selama ini, penyelenggaraan pendidikan diniyah ini tidak banyak diketahui bagaimana pola pengelolaannya. Tapi karakteristiknya yang khas menjadikan pendidikan ini layak untuk dimunculkan dan dipertahankan eksistensinya. Bagaimana sebenarnya eksistensi madrasah diniyah di Indonesia ini? Dengan mengurai pola pengelolaan di provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, diharapkan bisa membaca bagaimana eksistensi dan karakteristik pendidikan diniyah di luar tanah Jawa tersebut.

Secara umum, setidaknya sudah ada beberapa karakteristik pendidikan diniyah di bumi nusantara ini. Pertama, Pendidikan Diniyah Takmiliyah (suplemen) yang berada di tengah masyarakat dan tidak berada dalam lingkaran pengaruh pondok pesantren. Pendidikan diniyah jenis ini betul-betul merupakan kreasi dan swadaya masyarakat, yang diperuntukkan bagi anak-anak yang menginginkan pengetahuan agama di luar jalur sekolah formal. Kedua, pendidikan diniyah yang berada dalam lingkaran pondok pesantren tertentu, dan bahkan menjadi urat nadi kegiatan pondok pesantren. Ketiga, pendidikan keagamaan yang diselenggarakan sebagai pelengkap (komplemen) pada pendidikan formal di pagi hari. Keempat, pendidikan diniyah yang diselenggarakan di luar pondok pesantren tapi diselenggarakan secara formal di pagi hari, sebagaimana layaknya sekolah formal.

Memperhatikan beberapa karakteristik tersebut di atas, tampak bahwa penyelenggaraan pendidikan diniyah di beberapa daerah di nusantara ini mengalami krisis identitas, sebagaimana halnya yang terjadi di beberapa madrasah diniyah Kalimantan Selatan dan Timur.

MD Menjadi MI sebagai solusi pertama?

Penyelenggaraan pendidikan diniyah di Kalimantan Selatan ini—yang salah satu bentuknya adalah madrasah diniyah (MD), setidaknya ada beberapa karakteristik. Menurut M. Abrori, Kepala Seksi Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kantor Departemen Agama Martapura saat itu, beberapa madrasah diniyah pada awalnya adalah Madrasah Ibtidaiyah (MI) swasta (Wawancara 09/2006). Mengingat siswa MIS ini diselenggarakan pada waktu sore hari dan siswanya adalah siswa Sekolah formal (SD) di pagi harinya, maka berdasarkan hasil rapat koordinasi (rakor) di lingkungan pejabat Departemen Agama bahwa penyelenggaraan MI itu tidak boleh diselenggarakan di waktu sore hari. Maka yang bertahan sore hari, MIS tersebut dirubah menjadi Madrasah Diniyah. Menurut Abrori, hampir 90% MIS di Kabupaten Banjarbaru (Martapura) berubah menjadi madrasah diniyah pasca perbaikan struktur tersebut.

Mengapa terjadi penggunaan nama MI pada sekolah sore? Menurut Guru Jakparsari, seorang pensiunan Guru Agama, yang kemudian mengelola MDA Al-Mujtahidin, hal itu dilakukan karena adanya motivasi untuk mendapatkan bantuan dana penyelenggaraan sekolah, seperti dana BOS (Wawancara 06/09/2006). Artinya, jika menggunakan nama madrasah diniyah akan sulit mendapatkan biaya dari instansi pemerintah karena keterbatasan dana yang tersedia. Menurutnya pula, madrasah yang seperti itu jumlahnya cukup banyak. Meskipun ada anjuran seperti itu, sebagian madrasah diniyah tetap bertahan dengan nama Madrasah Ibtidaiyah (MI) meskipun tidak mempunyai siswa kelas VI yang ikut Ujian Nasional (UN), dikarenakan siswa lebih memilih ikut UN di Sekolah Dasar (SD).

Namun demikian, ada juga madrasah diniyah yang memang tetap bertahan dengan identitasnya. Alasan pendirian madrasah diniyah murni karena keprihatinan para orang tua akan anak-anaknya yang minim pengetahuan agamanya. Selain itu, ada pula madrasah diniyah yang berada di daerah dengan basis keagamaan masyarakat yang kuat, yang mana madrasah diniyah didirikan oleh para alumni pondok pesantren tertentu yang berada di wilayah tersebut. Seperti halnya, para alumni PP Darussalam Martapura, dan juga pesantren-pesantren lainnya, bahwa ketika mereka kembali ke kampung halamannya masing-masing mereka cenderung mendirikan pesantren atau madrasah diniyah yang sesuai dengan visi pesantren tempat ’nyantri’ dulu.

Carut Marut Kurikulum Madrasah Diniyah

Kurikulum madrasah diniyah pada umumnya belum tertulis. Hanya saja mereka dalam menentukan buku-bukunya dilakukan secara mandiri. Ada yang mengacu pada kurikulum yang pernah disusun oleh Departemen Agama. Adapula yang secara sporadis menentukan sendiri dengan mengukur kemampuan anak-anak didiknya. Jikalau diukur dengan tolok ukur pendidikan formal, jelas kurikulum pendidikan diniyah jenis ini masih jauh dari harapan.

Di wilayah Kalimantan Selatan ini, setidaknya ada dua karakteristik yang berbeda dalam penerapan kurikulum madrasah diniyah ini. Pertama, untuk madrasah diniyah yang berada di lingkungan yang jauh dari jangkauan pengaruh ’pesantren tua dan besar’. Penggunaan bahan ajar dipilih secara sporadis. Ada yang menggunakan buku-buku yang berbahasa Arab, ada pula yang mempergunakan buku-buku ’asal berbau agama’.

Tapi yang jelas bahwa secara umum, target kompetensi lulusan MD ini adalah penguasaan dan pemahaman atas "syariat"—istilah untuk ibadah mahdhah—dan baca Al-Quran dengan baik dan benar, meskipun buku-buku yang dipergunakannya berbeda-beda. Misalkan, untuk fiqh-nya ada yang menggunakan kitab khas pondok, ada pula yang menggunakan buku fiqh yang disusun Tim Depag untuk Madrasah Ibtidaiyah formal. Alasannya yang muncul adalah karena di sekitarnya—misalnya—tidak ada MI. Untuk itu, untuk wawasan keagamaannya dirasa cukup menggunakan buku-buku tersebut. Alasan lainnya, mereka khawatir jika buku-buku yang berbahasa Arab dipergunakan, para siswanya tidak akan mampu mengolah mata pelajaran yang diberikan. Ini merupakan evaluasi untuk Departemen Agama, bahwa buku-buku yang disusun oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Departemen Agama RI ternyata tidak sampai ke MD jenis ini.

Kedua, madrasah diniyah yang berada di dalam jaringan atau dekat dengan Kota Santri seperti Kota Martapura (Ibukota kabupaten Banjar) dan Amuntai (Ibukota Kabupaten Hulu Sungai Utara). Hampir semua madrasah diniyah di wilayah ini mengikuti standar dua pesantren tersebut.

Tampaknya pola penyelenggaraan madrasah diniyah jenis ini laksana "inti dan plasma" dalam ilmu Biologi. Yaitu, sepulangnya para santri menempuh pendidikanya, mereka menyebar ke daerah masing-masing dan menggunakan standar yang dipakai di Pesantrennya tersebut untuk penyelenggaraan madrasah diniyah. Meskipun dalam realisasinya, tidak sepenuhnya diterapkan. Misalkan, kitab yang dijadikan acuan pada jenjang persiapan (tahdhiriyah) pada PP Darussalam, diadopsi sebagai kurikulum MDA. Dengan adanya buku-buku yang dicetak dan diperbanyak oleh P.P. Darussalam tersebut, maka buku-buku yang disusun oleh Tim DEPAG dan diberikan ke beberapa madrasah diniyah di Martapura tidak terpakai.

Hal yang sama juga terjadi di madrasah-madrasah diniyah di Kabupaten Hulu Sungai Utara, dengan ibu kotanya Amuntai. Mereka berkiblat pada P.P. Al-Kholidiyah, Raha. Dan sebagian tetap berkiblat ke P.P. Darussalam, Martapura.

Dengan adanya buku-buku yang dipakai di atas, madrasah diniyah di Martapura dan sekitarnya sebenarnya telah memakai kurikulum, meskipun baru sebatas menunjukkan buku-buku yang dipergunakannya. Sementara itu untuk belajar membaca Al-Quran sebagian MDA, untuk kelas 1 dan 2 memakai buku IQRO sebagaimana buku yang telah dipergunakan oleh TK/TPA.

***

Pencarian identitas pendidikan diniyah memang masih dalam proses, termasuk dalam hal evaluasi. Hampir semua madrasah diniyah yang disurvey menyatakan bahwa mereka menyelenggarakan evaluasi kemampuan santri secara mandiri, tidak terkoordinir antara madrasah diniyah satu dengan yang lainnya. Sementara untuk kelulusan, ada yang diberi Ijazah kelulusan, ada pula yang tidak diberikan, karena mereka mempersepsikan pendidikan diniyah di madrasah diniyah hanya sebagai penambah wawasan keagamaan saja.

Namun, tidak kalah menariknya pola evaluasi madrasah diniyah di Kabupaten MARTAPURA, yang mana sistem kelulusan ditentukan dengan pola jaringan. Jaringan ini yang kadang menentukan kelulusan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang selanjutnya. Adapun jenjang selanjutnya tersebut ada di P.P. Darussalam. Para penerima santri baru sering mempertimbangkan mata pelajaran yang diberikan beserta acuannya. Jika mengikuti standar PP Darussalam, maka dia akan lulus dan bisa masuk pada jenjang selanjutnya. Namun jika tidak, maka dia akan masuk ke jenjang semula lagi.

MD Menjadi TK/TPQ sebagai solusi kedua?
Penyelenggaraan pendidikan diniyah di daerah satu dengan lainnya memang tidak selalu sama. Namun khusus di propinsi Kalimantan Timur, penyelenggaraan diniyah merupakan "photo copi" dari Kalimantan Selatan dan Jawa Timur. Karena mayoritas penduduk adalah migran dari Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Namun, dalam perjalanannya kemudian keberadaannya tidak eksis, karena tergusur perannya oleh TK/TP Al-Quran. Jumlah madrasah diniyah menjadi sedikit, yakni sekitar 67 madrasah. Meskipun demikian, memang ada beberapa madrasah diniyah yang tetap mempertahankan identitas diniyahnya karena cakupan mata pelajaran yang diajarkannya lebih luas dari TK/TPA. Ada sebuah MDA yang bernama Miftahul Ulum, yang dilihat dari segi usianya, sudah cukup tua. Madrasah diniyah tersebut didirikan tahun 1972, dengan pendekatan pembelajaran yang paling utama adalah dengan metode hafalan.

Karena minimnya inovasi dan kreasi, maka beberapa madrasah diniyah secara terang-terangan memasukkan pola dan manajemen TKA/TPA dalam proses belajar mengajarnya. Misalkan buku acuan untuk mengenal dan membaca Al-Quran adalah IQRO jilid 1 s.d. 6. Karena IQRO ini dipandang relatif lebih mudah dan mandiri dibanding model lain, apalagi dibanding dengan model Baghdadi. Begitu pula dalam manajemen pembelajarannya. Alasan yang dikemukakannya adalah jika mereka bertahan dengan pola madrasah diniyah konvensional, maka madrasah diniyah tidak akan mendapatkan murid. Hanya sebagian kecil MD yang menggunakan buku/kitab standar MD.

Adapula Madrasah Diniyah yang hanya menjadi pelengkap pendidikan umumnya, dalam artian ia bukan sesuatu yang penting. Bahkan mata pelajaran di dalamnya pun belum terumuskan secara sistematis. Pola pembagian kelasnya juga sulit dicarikan acuannya, karena pembagiannya berdasarkan kelas formal di siang harinya. Siswa kelas 1 s.d. 3 pada SLTP masuk pada jenjang wustho, sedangkan siswa kela 1 s.d. 3 SLTA dimasukkan dalam jenjang ulya. Meskipun demikian, buku yang dijadikan pegangan dan materi yang diajarkan pada dua jenjang tersebut tidak jauh berbeda. Bahkan, waktu kelulusannyapun tidak didasarkan pada hasil belajar, tapi berdasarkan masa belajar di sekolah formal pagi harinya.

Hal yang sama tampaknya juga dialami madrasah diniyah yang lain. Mereka belum begitu mementingkan kurikulum yang tertulis. Entah mengapa? Bisa jadi karena ketiadaan biaya dan tenaga yang mampu membuatnya. Harus diakui bahwa selain madrasah diniyah mengalami kendala ketersediaan tenaga pengajar yang profesional, madrasah diniyah juga menjadi lembaga pendidikan yang tidak favorit, alias dinomorduakan sebagaimana halnya dengan nasib pesantren. Jadi pengelolaannya tidak begitu serius.

Memang ada beberapa kreasi pengelola MD ini untuk menarik minat siswa/santri. Misalkan, selain mata pelajaran pokok yang diajarkan di madrasah diniyah seperti cara baca Al-Quran, Imla', Bahasa Arab, Fiqh, Tauhid, dan Tajwid, sebagian MD juga menambah dengan mata pelajaran pelajaran Bahasa Inggris. Begitulah keadaan penyelenggaraan pendidikan jenis ini di Daratan Kalimantan.

Setumpuk Problem Implementasi Kurikulum Di Madrasah Diniyah
Tidak adanya dukungan yang simultan dan berkelanjutan dari instansi yang berwenang, maka penerapan—bahkan penyusunan—kurikulum di MD ini banyak bermunculan. Jika diidentifikasi, setidaknya ada beberapa hal;

Pertama, belum ada kurikulum yang tertulis. Mereka tidak mempunyai panduan dalam penerapan kurikulum tersebut. Namun tujuan utama dari penyelenggaraan madrasah diniyah ini adalah memberikan bekal kepada murid untuk bisa membaca Kitab Suci Al-Quran dengan baik dan benar.

Kedua, kurikulum dipahami hanya sebatas buku-buku yang dipergunakan dan dijadikan acuan belajar. Penjabaran-penjabaran semisal target pencapaian, standar kompetensi, atau pembagian tema-tema setiap pertemuan tidak menjadi hal yang penting.

Ketiga, pendekatan kurikulum yang dipergunakan adalah menamatkan buku secara berurutan dan berjenjang. Seorang ustadz akan mengganti buku pegangannya dengan kitab yang lebih tinggi 'status'nya jika telah menamatkannya. Mereka menyebutnya "untuk tabarukan" (mengambil berkah) dari buku yang dipelajarinya.

Keempat, ketaktersedianya SDM yang tangguh. Para pengelola Madrasah Diniyah di Kalimantan terutama yang jauh dari pondok pesantren banyak dikelola oleh orang tua yang nota bene adalah pensiunan PNS yang dibantu oleh beberapa pemuda setempat yang menjadi asistennya dalam mengajar baca tulis huruf Al-Quran. Atau alumni perguruan tinggi agama yang sedang mengalami masa transisi mencari pekerjaan. Sehingga untuk mengembangkan MD dan menyusun kurikulum, mereka tidak bisa diharapkan.

Apa yang Harus Dilakukan?
Dari beberapa temuan realita di lapangan, setidaknya ada beberapa langkah taktis dan strategis yang perlu diperhatikan untuk semua pihak, yaitu:

Pertama, penyelenggaraan dan pembekalan bagi guru-guru madrasah diniyah tentang materi metode dan strategi pembelajaran yang menarik dan disesuaikan dengan kompetensi daerahnya masing-masing adalah sebuah keharusan. Karena, sebagian besar pengelola madrasah diniyah mengeluhkan ketiadaan kreasi para pengajarnya dalam proses pembelajarannya. Inipula yang mengakibatkan pendidikan diniyah di madrasah diniyah kurang diminati calon siswa.

Kedua, perlu pengiriman buku-buku pelajaran standar madrasah diniyah untuk wilayah-wilayah yang belum mempunyai kurikulum sendiri dan di bawah standar nasional. Jikalau madrasah diniyah yang berada di pondok pesantren telah mempunyai standar kompetensi lulusan, namun dalam madrasah diniyah di tengah masyarakat, standar kelulusan dan juga buku-buku yang dipergunakan sangat terbatas. Sehingga, tidak jarang madrasah diniyah yang ada hanya seperti pengajian biasa yang mengajarkan baca tulis Al-Quran saja.

Ketiga, penyelenggaraan pengawasan, pembinaan dan pendampingan bagi masing-masing madrasah diniyah per region yang tersebar di berbagai wilayah yang meliputi manajemen, pembelajaran dan lain sebagainya. Hal ini dimaksudkan untuk mengontrol perjalanan madrasah diniyah menuju madrasah yang bermutu dan berdaya saing serta berdaya guna bagi masyarakat. Para pengelola mengeluhkan bahwa keberadaan mereka selama ini kurang begitu diperhatikan. Dengan pola pendampingan per region seperti itu diharapkan mutu madrasah diniyah bisa ditingkatkan. Untuk itu, membangun kemitraan (partnership) dengan lembaga akademik lokal seperti perguruan tinggi agama untuk melakukan pendampingan secara terus menerus dan berkelanjutan.

Keempat, perlu dilakukan pemetaan ulang secara komprehensif dan teliti. Sehingga pengklasifikasian masing-masing madrasah diniyah sesuai dengan kenyataannya. Selain tidak sesuai dengan katagori yang ditentukan, masih banyak pula madrasah diniyah yang tidak tercantum dalam data EMIS.

Kelima, membangun kerjasama dengan pemerintah-pemerintah lokal baik tingkat provinsi maupun kabupaten. Hal ini terkait dengan pengalokasian anggaran pendidikan. Beberapa wilayah sangat memperhatikan keberadaan madrasah diniyah. Di wilayah lain, madrasah diniyah tidak diperhatikan sama sekali dan dibiarkan hidup mandiri. Kerjasama dengan pemerintah lokal ini diharapkan—minimal—bisa membantu dalam hal pendanaan dan pemenuhan sarana prasarana serta kegiatan pembelajaran.

Beberapa rekomendasi di atas diharapkan bisa meningkatkan kualitas pendidikan keagamaan di tengah masyarakat. Dan pendidikan agama yang berkualitas bisa menopang pembangunan negara dan bangsa ini. Wallahu a’lamu bis shawab.

sumber: Anis Masykhur, MA ; Alumni PP Salafiyah Al-Ishlah Temanggung Jawa Tengah

http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=189

4. Asah Pendidikan Keagamaan Pada Anak

Pontianak,- Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta.

“Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin.

Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya.

Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak.

Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional.

Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak.

Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah,” papar Drs Jamiat.(ndi)< Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta.

“Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin.

Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya.

Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak.

Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional.

Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak.

Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah,” papar Drs Jamiat.(ndi) sumber:
http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Kota&id=148709

3. Pendidikan Keagamaan Hadapi Kendala Serius

YOGYAKARTA--Menteri Agama M Maftuh Basyuni menegaskan, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia sangat berkepentingan untuk memperkenalkan Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin. ''Kami merasa berkewajiban menjawab tuduhan zalim yang menuding Islam sebagai agama terorisme,'' kata Menteri Agama saat memberi sambutan atas penganugerahan doktor honoris causa kepada Grand Mufti Dr Ahmad Badruddin Hassoun di Universitas Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis (22/5). Islam agama yang mengedepankan perdamaian daripada kekerasan. Hal itu amat berbeda dari mainstream pemberitaan media massa yang mengaitkan Islam dengan aksi kekerasan. Sayangnya, kata Maftuh lagi, di antara umat Islam sendiri terdapat orang-orang yang memberikan reaksi berlebihan terhadap tuduhan tersebut. ''Sehingga, timbul kesan bahwa yang dituduhkan itu benar,'' paparnya. Alquran, kata Menag, memerintahkan dan selalu mengingatkan umat Islam untuk mengambil sikap dengan bijak. Ajaran Islam yang demikian itu yang diterapkan di Indonesia dan di seluruh dunia untuk mengedepankan dialog dan menghilangkan konflik. Karena itu, kata Menag, kiprah Dr Hassoun di bidang keislaman yang mendorong budaya dialog ini amat pantas diberikan penghargaan ilmiah berupa doktor honoris causa. ''Mudah-mudahan penganugerahan gelar ini memperoleh berkah dari Allah SWT dan semakin akan mempererat hubungan persahabatan Indonesia-Suriah,'' kata Menag. Pada acara itu, Menag memaparkan pembinaan keagamaan di tengah masyarakat masih menghadapi kendala serius. Tidak semua komponen masyarakat dan elemen bangsa, kata dia, bergerak ke arah yang sama. Pendidikan agama di sekolah juga kerap tak sejalan dengan muatan pesan yang disampaikan media massa. Ditambahkan Menag, terjadi kontradiksi atau benturan nilai yang cukup kuat dalam upaya mengarahkan masyarakat dan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang maju dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan moral keagamaan. ''Fenomena itu merupakan salah satu konsekuensi bagi bangsa-bangsa yang tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi percaturan budaya global,'' kata Menag. Oleh karena itu, dia berharap perguruan tinggi Islam bisa memainkan peran yang lebih besar dalam upaya bangsa ini meningkatkan kualitas pemahaman dan penghayatan agama di kalangan warga masyarakat. ''Paling tidak setiap perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pencerahan terhadap umat di lingkungan sekitarnya dan memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah sosial keagamaan pada tingkat lokal, nasional, dan global,'' tutur Menag. BPIH 1429 H Usai bicara pada forum resmi, Menag yang dicegat wartawan sempat memberikan penjelasan terkait biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 1429 H. Menag mengatakan masih menunggu kesepakatan dengan maskapai penerbangan. ''Sekarang ini agak tersandung oleh penetapan mengenai penerbangan. Dari penetapan itu (persetujuan oleh DPR--Red) tidak banyak berubah. Hanya, mungkin nanti kalau ada perubahan, itu kemungkinan karena kenaikan (biaya) penerbangan,'' papar Menag lagi. Menag meminta penerbangan tidak mengeskploitasi jamaah haji dengan menetapkan tarif yang teramat tinggi, meskipun ia tahu bahwa harga avtur juga melonjak. ''Mudah-mudahan ada jalan keluar yang baik,'' katanya berharap. Selain biaya penerbangan, pemerintah terus menyiapkan pondokan untuk calon jamaah haji. Saat ini, menurut Menag, sudah 40 persen pondokan disiapkan dan 60 persen sisanya sedang diselesaikan dalam waktu dekat. Menag berharap 50 persen pondokan berada di ring satu atau lokasi dekat Masjidil Haram. (osa ) (sumber: republika) YOGYAKARTA--Menteri Agama M Maftuh Basyuni menegaskan, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia sangat berkepentingan untuk memperkenalkan Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin. ''Kami merasa berkewajiban menjawab tuduhan zalim yang menuding Islam sebagai agama terorisme,'' kata Menteri Agama saat memberi sambutan atas penganugerahan doktor honoris causa kepada Grand Mufti Dr Ahmad Badruddin Hassoun di Universitas Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis (22/5). Islam agama yang mengedepankan perdamaian daripada kekerasan. Hal itu amat berbeda dari mainstream pemberitaan media massa yang mengaitkan Islam dengan aksi kekerasan. Sayangnya, kata Maftuh lagi, di antara umat Islam sendiri terdapat orang-orang yang memberikan reaksi berlebihan terhadap tuduhan tersebut. ''Sehingga, timbul kesan bahwa yang dituduhkan itu benar,'' paparnya. Alquran, kata Menag, memerintahkan dan selalu mengingatkan umat Islam untuk mengambil sikap dengan bijak. Ajaran Islam yang demikian itu yang diterapkan di Indonesia dan di seluruh dunia untuk mengedepankan dialog dan menghilangkan konflik. Karena itu, kata Menag, kiprah Dr Hassoun di bidang keislaman yang mendorong budaya dialog ini amat pantas diberikan penghargaan ilmiah berupa doktor honoris causa. ''Mudah-mudahan penganugerahan gelar ini memperoleh berkah dari Allah SWT dan semakin akan mempererat hubungan persahabatan Indonesia-Suriah,'' kata Menag. Pada acara itu, Menag memaparkan pembinaan keagamaan di tengah masyarakat masih menghadapi kendala serius. Tidak semua komponen masyarakat dan elemen bangsa, kata dia, bergerak ke arah yang sama. Pendidikan agama di sekolah juga kerap tak sejalan dengan muatan pesan yang disampaikan media massa. Ditambahkan Menag, terjadi kontradiksi atau benturan nilai yang cukup kuat dalam upaya mengarahkan masyarakat dan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang maju dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan moral keagamaan. ''Fenomena itu merupakan salah satu konsekuensi bagi bangsa-bangsa yang tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi percaturan budaya global,'' kata Menag. Oleh karena itu, dia berharap perguruan tinggi Islam bisa memainkan peran yang lebih besar dalam upaya bangsa ini meningkatkan kualitas pemahaman dan penghayatan agama di kalangan warga masyarakat. ''Paling tidak setiap perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pencerahan terhadap umat di lingkungan sekitarnya dan memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah sosial keagamaan pada tingkat lokal, nasional, dan global,'' tutur Menag. BPIH 1429 H Usai bicara pada forum resmi, Menag yang dicegat wartawan sempat memberikan penjelasan terkait biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 1429 H. Menag mengatakan masih menunggu kesepakatan dengan maskapai penerbangan. ''Sekarang ini agak tersandung oleh penetapan mengenai penerbangan. Dari penetapan itu (persetujuan oleh DPR--Red) tidak banyak berubah. Hanya, mungkin nanti kalau ada perubahan, itu kemungkinan karena kenaikan (biaya) penerbangan,'' papar Menag lagi. Menag meminta penerbangan tidak mengeskploitasi jamaah haji dengan menetapkan tarif yang teramat tinggi, meskipun ia tahu bahwa harga avtur juga melonjak. ''Mudah-mudahan ada jalan keluar yang baik,'' katanya berharap. Selain biaya penerbangan, pemerintah terus menyiapkan pondokan untuk calon jamaah haji. Saat ini, menurut Menag, sudah 40 persen pondokan disiapkan dan 60 persen sisanya sedang diselesaikan dalam waktu dekat. Menag berharap 50 persen pondokan berada di ring satu atau lokasi dekat Masjidil Haram. (osa ) (sumber: republika)

sumber: http://www.maarif-nu.or.id/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=14