Rabu, 11 Maret 2009

5. Anak Belajar, Negara Membayar

      Sembilan bulan lalu, negeri ini dihebohkan bencana gempa tektonik dan 
badai tsunami yang melanda Aceh dan Sumatera Utara (Sumut). Tsunami yang ganas 
itu meluluhlantakkan fasilitas pendidikan. Banyak guru menjadi sahid, anak 
sekolah menjadi yatim piatu, sekolahnya musnah, peralatan belajar hilang entah 
ke mana. Singkatnya, pendidikan anak terancam kelangsungannya. 
      Jika ditilik dari UU Sistem Pendidikan nasional (UU Sisdiknas), 
pendidikan yang terjadi atau terbengkalai dalam bencana tsunami, mestinya masuk 
dalam skema pendidikan layanan khusus. Apakah kita sudah memiliki pendidikan 
layanan khusus? Ternyata belum. Perintah pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) 
tentang pendidikan layuanan khusus yang memayungi pendidikan darurat belum 
dibuat hingga kini. 
      Pendidikan layanan khusus, bukan cuma ada dalam kasus tsunami. 
Sebenarnya, sejak lama di pulau-pulau kecil dan terpencil, misalnya di Pulau 
Bertam, Kepulauan Riau (Kepri), dikenal kelompok masyarakat suku laut. 
      Dalam suatu kesempatan pembicaraan dengan ibu Sri Sudarsono, tokoh 
masyarakat level nasional yang tinggal di Batam, mengisahkan bagaimana situasi 
unik yang disandang suku laut. "Mereka suku laut belajar di laut." Demikian 
antara lain pengalaman kisah Sri Sudarsono mendampingi suku laut yang 
dituliskan dalam bukunya, "Menantang Gelombang - Kehidupan Suku Laut di Pulau 
Bertam Perairan Batam". Sebagian bayi lahir di laut. Lantas segera pula 
dimandikan air laut yang asin. Diyakini, air laut berguna sebagai antibody bagi 
bayi. 
      *** 
      Untuk kepentingan terbaik bagi anak-anak, pendidikan dalam kondisi 
bagaimanapun, termasuk keadaan darurat (in emergencies situation), denyutnya 
mesti terus diselamatkan. Dari laporan pengalaman berbagai situasi darurat, 
konflik sosial, ataupun konflik bersenjata, pengabaian hak pendidikan anak 
paling sering terbukti. UNICEF (Badan PBB untuk Dana Anak-anak) menuliskan 
bahwa, "In emergencies, children are frequently denied this right". Inilah 
rasional yuridis (legal reason) mengapa Konvensi PBB tentang Hak Anak (KHA) 
menghormati hak pendidikan sebagai hak fundamental anak (education is a 
fundamental right of all children). 
      Di samping argumentasi legal formal itu, dalam "Technical Notes: Special 
Considerations for Programming in Unstable Situations" yang diterbitkan UNICEF, 
diuraikan beberapa alasan mengapa penting menyediakan akses pendidikan anak 
dalam situasi krisis. 
      Pertama, pendidikan adalah hal fundamental anak. Kedua, Keadaan darurat 
adalah etape yang kritis bagi perkembangan anak. Ketiga, pendidikan dapat 
membantu anak dalam menghentikan trauma atau efek krisis . Keempat, pendidikan 
dapat membantu perasaan normal anak dan masyarakat. 
      Kelima, lingkungan pendidikan penting bagi anak untuk ditempatkan pada 
lingkungan yang aman. Keenam, pendidikan bagi anak dalam keadaan darurat 
berguna sebagai medium membangkitkan daya kejuangan anak, membangun 
solidaritas, dan spirit rekonsiliasi. Di samping itu, pendidikan darurat ini 
relevan untuk membangun partisipasi masyarakat dalam pendidikan anak. 
      Kendati dalam situasi darurat, tidak mengeliminasi penyelenggaraan 
pendidikan anak yang berkualitas kurang. Anak dalam situasi darurat berhak atas 
pendidikan dengan kualitas bagus. 
      Pemerintah wajib menyediakan pendidikan yang berkualitas dan non 
diskriminasi (vide Pasal 11 ayat 1 UU No 20/2003). Dan, menjamin pendidikan 
anak yang berbasis kesetaraan kesempatan. 
      Untuk menjamin good quality pendidikan dasar anak dalam situasi darurat 
itu, masalah kualitas bagus ini meliputi lima aspek kunci. Pertama, pemberi 
pelajaran, yakni memiliki kemampuan dan sehat. Kedua, konten pelajaran, yakni 
konten yang relevan, aksesible. 
      Ketiga, proses belajar, yakni proses belajar yang mampu memberdayakan dan 
efektif . Keempat, lingkungan belajar yakni lingkungan belajar yang aman, sehat 
dan adil. Kelima, hasil pelajaran yakni hasil perolehan yang terukur, relevan, 
dan mencerminkan dimensi yang sensitif gender. 
      Dengan demikian, upaya pemenuhan hak atas pendidikan dasar anak dalam 
skema palayanan khusus, mestilah dikelola berbasis kepada kebijakan atau 
regulasi. Bukan hanya berbasis kepada kebijakan insidental, reaktif atau malah 
personal. Atau bahkan hanya berbasis kepada pesan telepon saja. 
      Beberapa strategi praktis dapat diperoleh dari akumulasi 
pengalaman-pengalaman masyarakat. Pertama, memobilisasi komunitas/ masyarakat 
untuk mengupayakan pelayanan pendidikan dasar. Memobilisasi dan mendorong aksi 
dari komunitas/ masyarakat menyelenggarakan pendidikan dasar, menjadi prioritas 
segera dalam program pendidikan darurat. 
      Kedua, menyiapkan berbagai kesempatan pelatihan bagi guru-guru, 
para-profesional, dan anggota masyarakat. Pelatihan ini berguna untuk 
menyiapkan skil dan mentalitas para guru dan pengelola sekolah dalam menghadapi 
situasi darurat, yang diidentifikasi secara spesifik dan jelas di kawasan 
sekolahnya. Sehingga langsung bisa diterapkan, diuji-latihkan dan dibiasakan. 
      Ketiga, menjamin pengupayaan segera peralatan dan material untuk 
pendidikan dasar. Belajar dari pengalaman di Somalia ataupun Ruwanda (besama 
UNESCO), bisa mengembangkan atau menduplikasi berbagai material, seperti 
Scholl-in a- Box. 
      Keempat, mengupayakan persetujuan mengenai kurikulum yang relevan, 
mengggambarkan material yang tersedia dan di mana diperoleh, dan menambah 
kemampuan dalam menghadapi krisis. Dalam keadaan darurat, dokumen kurikulum dan 
material pendukung pendidikan bisa musnah. 
 
      Dalam masa bencana atau konflik, kerap pula kurikulum yang biasa atau 
yang tersedia tidak lagi relevan dengan situasi mental anak didik. Karenanya, 
perlu pengembangan segera material kurikulum yang relevan bagi kebutuhan lokal. 
 
      Kelima, memajukan konsepsi untuk menciptakan adanya kesempatan rekreasi 
dan bermain bagi anak. Dalam situasi darurat, masa untuk bermain terbatas. 
Padahal, terapi bermain (playing teraphy) bisa membantu anak ke luar dari 
trauma psiko-sosial yang dideritanya. 
      Rekreasi dan bermain adalah bagian dari proses pendidikan, dan diperlukan 
untuk efektivitas pembelajaran anak. Bermain adalah terapi yang terbukti 
efektif mengatasi trauma anak pasca bencana ataupun konflik. 
      Keenam, memajukan konsepsi untuk menciptakan rehabilitasi sistem 
pendidikan (yang menyerap pendidikan dalam situasi darurat), sekolah dan 
ruangan kelas. Ketujuh, melakukan advokasi untuk kegiatan pendidikan dan 
mendorong kordinasi dengan kelembagaan lain. 
      Negara menjadi pendidikan anak, dalam sityasi apapun. Karena sudah 
menjadi perintah konstitusi kepada pemerintah untuk menciptakan sistem 
pengajaran nasional. Tentunya, dengan mengintegrasikan sub sistem pendidikan 
layanan khusus, yang diperintahkan UU Sisdiknas. 
      Anak-anak korban tsunami, anak korban konflik sosial, anak di pulau 
terpencil perbatasan Filipina, anak suku laut di Kepri, anak-anak dipedalaman 
gunung Jayawijaya, atau anak suku Kubu, tetap berhak atas pendidikan. Negara 
berkewajiban memberikan hak itu. Anak Belajar, negara membayar. 
sumber:
http://www.freelists.org/post/nasional_list/ppiindia-Anak-Belajar-Negara-Membayar,1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar