Rabu, 11 Maret 2009

5. Pencarian Identitas Pendidikan Diniyah Di Indonesia

(Studi Kasus Penyelenggaraan Pendidikan Diniyah di Kaltim dan Kalsel)

Oleh: Anis Masykhur, MA

”Jika kami bertahan dengan pola madrasah diniyah konvensional, maka madrasah diniyah tidak akan mendapatkan murid. Maka dari itu, kami mengikuti pola TPA.”

Begitulah salah satu ungkapan pengelola madrasah diniyah di Samarinda Kalimantan Timur dalam mensikapi trend pergeseran model penyelenggaraan pendidikan diniyah, menjadi TK/TPQ atau MI. Pergeseran ini memang tidak memberikan perubahan pada minat masyarakat terhadap pendidikan agama, namun hanya berpengaruh terhadap kualitas target capaian dari sebuah proses pendidikan. Bahkan ikut merubah paradigma masyarakat dalam belajar agama. Semenjak adanya TK/TPQ ini, muncul pemahaman di sebagian masyarakat bahwa belajar agama sudah dirasa cukup jika si anak sudah mampu membaca Al-Quran. Padahal dalam tujuan pendidikan agama, hal seperti itu masih dirasa jauh dari cukup. Pandangan yang demikian inilah yang harus segera diluruskan, dengan membenahi pola penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan diniyah.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pendidikan keagamaan menginginkan terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis (tafaqquh fiddin).

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang ditindaklanjuti dengan disyahkannya PP No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan memang menjadi babak baru bagi dunia pendidikan agama dan keagamaan di Indonesia. Karena itu berarti negara telah menyadari keanekaragaman model dan bentuk pendidikan yang ada di bumi nusantara ini.

Keberadaan peraturan perundangan tersebut seolah menjadi ”tongkat penopang” bagi madrasah diniyah yang sedang mengalami krisis identitas. Karena selama ini, penyelenggaraan pendidikan diniyah ini tidak banyak diketahui bagaimana pola pengelolaannya. Tapi karakteristiknya yang khas menjadikan pendidikan ini layak untuk dimunculkan dan dipertahankan eksistensinya. Bagaimana sebenarnya eksistensi madrasah diniyah di Indonesia ini? Dengan mengurai pola pengelolaan di provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, diharapkan bisa membaca bagaimana eksistensi dan karakteristik pendidikan diniyah di luar tanah Jawa tersebut.

Secara umum, setidaknya sudah ada beberapa karakteristik pendidikan diniyah di bumi nusantara ini. Pertama, Pendidikan Diniyah Takmiliyah (suplemen) yang berada di tengah masyarakat dan tidak berada dalam lingkaran pengaruh pondok pesantren. Pendidikan diniyah jenis ini betul-betul merupakan kreasi dan swadaya masyarakat, yang diperuntukkan bagi anak-anak yang menginginkan pengetahuan agama di luar jalur sekolah formal. Kedua, pendidikan diniyah yang berada dalam lingkaran pondok pesantren tertentu, dan bahkan menjadi urat nadi kegiatan pondok pesantren. Ketiga, pendidikan keagamaan yang diselenggarakan sebagai pelengkap (komplemen) pada pendidikan formal di pagi hari. Keempat, pendidikan diniyah yang diselenggarakan di luar pondok pesantren tapi diselenggarakan secara formal di pagi hari, sebagaimana layaknya sekolah formal.

Memperhatikan beberapa karakteristik tersebut di atas, tampak bahwa penyelenggaraan pendidikan diniyah di beberapa daerah di nusantara ini mengalami krisis identitas, sebagaimana halnya yang terjadi di beberapa madrasah diniyah Kalimantan Selatan dan Timur.

MD Menjadi MI sebagai solusi pertama?

Penyelenggaraan pendidikan diniyah di Kalimantan Selatan ini—yang salah satu bentuknya adalah madrasah diniyah (MD), setidaknya ada beberapa karakteristik. Menurut M. Abrori, Kepala Seksi Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kantor Departemen Agama Martapura saat itu, beberapa madrasah diniyah pada awalnya adalah Madrasah Ibtidaiyah (MI) swasta (Wawancara 09/2006). Mengingat siswa MIS ini diselenggarakan pada waktu sore hari dan siswanya adalah siswa Sekolah formal (SD) di pagi harinya, maka berdasarkan hasil rapat koordinasi (rakor) di lingkungan pejabat Departemen Agama bahwa penyelenggaraan MI itu tidak boleh diselenggarakan di waktu sore hari. Maka yang bertahan sore hari, MIS tersebut dirubah menjadi Madrasah Diniyah. Menurut Abrori, hampir 90% MIS di Kabupaten Banjarbaru (Martapura) berubah menjadi madrasah diniyah pasca perbaikan struktur tersebut.

Mengapa terjadi penggunaan nama MI pada sekolah sore? Menurut Guru Jakparsari, seorang pensiunan Guru Agama, yang kemudian mengelola MDA Al-Mujtahidin, hal itu dilakukan karena adanya motivasi untuk mendapatkan bantuan dana penyelenggaraan sekolah, seperti dana BOS (Wawancara 06/09/2006). Artinya, jika menggunakan nama madrasah diniyah akan sulit mendapatkan biaya dari instansi pemerintah karena keterbatasan dana yang tersedia. Menurutnya pula, madrasah yang seperti itu jumlahnya cukup banyak. Meskipun ada anjuran seperti itu, sebagian madrasah diniyah tetap bertahan dengan nama Madrasah Ibtidaiyah (MI) meskipun tidak mempunyai siswa kelas VI yang ikut Ujian Nasional (UN), dikarenakan siswa lebih memilih ikut UN di Sekolah Dasar (SD).

Namun demikian, ada juga madrasah diniyah yang memang tetap bertahan dengan identitasnya. Alasan pendirian madrasah diniyah murni karena keprihatinan para orang tua akan anak-anaknya yang minim pengetahuan agamanya. Selain itu, ada pula madrasah diniyah yang berada di daerah dengan basis keagamaan masyarakat yang kuat, yang mana madrasah diniyah didirikan oleh para alumni pondok pesantren tertentu yang berada di wilayah tersebut. Seperti halnya, para alumni PP Darussalam Martapura, dan juga pesantren-pesantren lainnya, bahwa ketika mereka kembali ke kampung halamannya masing-masing mereka cenderung mendirikan pesantren atau madrasah diniyah yang sesuai dengan visi pesantren tempat ’nyantri’ dulu.

Carut Marut Kurikulum Madrasah Diniyah

Kurikulum madrasah diniyah pada umumnya belum tertulis. Hanya saja mereka dalam menentukan buku-bukunya dilakukan secara mandiri. Ada yang mengacu pada kurikulum yang pernah disusun oleh Departemen Agama. Adapula yang secara sporadis menentukan sendiri dengan mengukur kemampuan anak-anak didiknya. Jikalau diukur dengan tolok ukur pendidikan formal, jelas kurikulum pendidikan diniyah jenis ini masih jauh dari harapan.

Di wilayah Kalimantan Selatan ini, setidaknya ada dua karakteristik yang berbeda dalam penerapan kurikulum madrasah diniyah ini. Pertama, untuk madrasah diniyah yang berada di lingkungan yang jauh dari jangkauan pengaruh ’pesantren tua dan besar’. Penggunaan bahan ajar dipilih secara sporadis. Ada yang menggunakan buku-buku yang berbahasa Arab, ada pula yang mempergunakan buku-buku ’asal berbau agama’.

Tapi yang jelas bahwa secara umum, target kompetensi lulusan MD ini adalah penguasaan dan pemahaman atas "syariat"—istilah untuk ibadah mahdhah—dan baca Al-Quran dengan baik dan benar, meskipun buku-buku yang dipergunakannya berbeda-beda. Misalkan, untuk fiqh-nya ada yang menggunakan kitab khas pondok, ada pula yang menggunakan buku fiqh yang disusun Tim Depag untuk Madrasah Ibtidaiyah formal. Alasannya yang muncul adalah karena di sekitarnya—misalnya—tidak ada MI. Untuk itu, untuk wawasan keagamaannya dirasa cukup menggunakan buku-buku tersebut. Alasan lainnya, mereka khawatir jika buku-buku yang berbahasa Arab dipergunakan, para siswanya tidak akan mampu mengolah mata pelajaran yang diberikan. Ini merupakan evaluasi untuk Departemen Agama, bahwa buku-buku yang disusun oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Departemen Agama RI ternyata tidak sampai ke MD jenis ini.

Kedua, madrasah diniyah yang berada di dalam jaringan atau dekat dengan Kota Santri seperti Kota Martapura (Ibukota kabupaten Banjar) dan Amuntai (Ibukota Kabupaten Hulu Sungai Utara). Hampir semua madrasah diniyah di wilayah ini mengikuti standar dua pesantren tersebut.

Tampaknya pola penyelenggaraan madrasah diniyah jenis ini laksana "inti dan plasma" dalam ilmu Biologi. Yaitu, sepulangnya para santri menempuh pendidikanya, mereka menyebar ke daerah masing-masing dan menggunakan standar yang dipakai di Pesantrennya tersebut untuk penyelenggaraan madrasah diniyah. Meskipun dalam realisasinya, tidak sepenuhnya diterapkan. Misalkan, kitab yang dijadikan acuan pada jenjang persiapan (tahdhiriyah) pada PP Darussalam, diadopsi sebagai kurikulum MDA. Dengan adanya buku-buku yang dicetak dan diperbanyak oleh P.P. Darussalam tersebut, maka buku-buku yang disusun oleh Tim DEPAG dan diberikan ke beberapa madrasah diniyah di Martapura tidak terpakai.

Hal yang sama juga terjadi di madrasah-madrasah diniyah di Kabupaten Hulu Sungai Utara, dengan ibu kotanya Amuntai. Mereka berkiblat pada P.P. Al-Kholidiyah, Raha. Dan sebagian tetap berkiblat ke P.P. Darussalam, Martapura.

Dengan adanya buku-buku yang dipakai di atas, madrasah diniyah di Martapura dan sekitarnya sebenarnya telah memakai kurikulum, meskipun baru sebatas menunjukkan buku-buku yang dipergunakannya. Sementara itu untuk belajar membaca Al-Quran sebagian MDA, untuk kelas 1 dan 2 memakai buku IQRO sebagaimana buku yang telah dipergunakan oleh TK/TPA.

***

Pencarian identitas pendidikan diniyah memang masih dalam proses, termasuk dalam hal evaluasi. Hampir semua madrasah diniyah yang disurvey menyatakan bahwa mereka menyelenggarakan evaluasi kemampuan santri secara mandiri, tidak terkoordinir antara madrasah diniyah satu dengan yang lainnya. Sementara untuk kelulusan, ada yang diberi Ijazah kelulusan, ada pula yang tidak diberikan, karena mereka mempersepsikan pendidikan diniyah di madrasah diniyah hanya sebagai penambah wawasan keagamaan saja.

Namun, tidak kalah menariknya pola evaluasi madrasah diniyah di Kabupaten MARTAPURA, yang mana sistem kelulusan ditentukan dengan pola jaringan. Jaringan ini yang kadang menentukan kelulusan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang selanjutnya. Adapun jenjang selanjutnya tersebut ada di P.P. Darussalam. Para penerima santri baru sering mempertimbangkan mata pelajaran yang diberikan beserta acuannya. Jika mengikuti standar PP Darussalam, maka dia akan lulus dan bisa masuk pada jenjang selanjutnya. Namun jika tidak, maka dia akan masuk ke jenjang semula lagi.

MD Menjadi TK/TPQ sebagai solusi kedua?
Penyelenggaraan pendidikan diniyah di daerah satu dengan lainnya memang tidak selalu sama. Namun khusus di propinsi Kalimantan Timur, penyelenggaraan diniyah merupakan "photo copi" dari Kalimantan Selatan dan Jawa Timur. Karena mayoritas penduduk adalah migran dari Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Namun, dalam perjalanannya kemudian keberadaannya tidak eksis, karena tergusur perannya oleh TK/TP Al-Quran. Jumlah madrasah diniyah menjadi sedikit, yakni sekitar 67 madrasah. Meskipun demikian, memang ada beberapa madrasah diniyah yang tetap mempertahankan identitas diniyahnya karena cakupan mata pelajaran yang diajarkannya lebih luas dari TK/TPA. Ada sebuah MDA yang bernama Miftahul Ulum, yang dilihat dari segi usianya, sudah cukup tua. Madrasah diniyah tersebut didirikan tahun 1972, dengan pendekatan pembelajaran yang paling utama adalah dengan metode hafalan.

Karena minimnya inovasi dan kreasi, maka beberapa madrasah diniyah secara terang-terangan memasukkan pola dan manajemen TKA/TPA dalam proses belajar mengajarnya. Misalkan buku acuan untuk mengenal dan membaca Al-Quran adalah IQRO jilid 1 s.d. 6. Karena IQRO ini dipandang relatif lebih mudah dan mandiri dibanding model lain, apalagi dibanding dengan model Baghdadi. Begitu pula dalam manajemen pembelajarannya. Alasan yang dikemukakannya adalah jika mereka bertahan dengan pola madrasah diniyah konvensional, maka madrasah diniyah tidak akan mendapatkan murid. Hanya sebagian kecil MD yang menggunakan buku/kitab standar MD.

Adapula Madrasah Diniyah yang hanya menjadi pelengkap pendidikan umumnya, dalam artian ia bukan sesuatu yang penting. Bahkan mata pelajaran di dalamnya pun belum terumuskan secara sistematis. Pola pembagian kelasnya juga sulit dicarikan acuannya, karena pembagiannya berdasarkan kelas formal di siang harinya. Siswa kelas 1 s.d. 3 pada SLTP masuk pada jenjang wustho, sedangkan siswa kela 1 s.d. 3 SLTA dimasukkan dalam jenjang ulya. Meskipun demikian, buku yang dijadikan pegangan dan materi yang diajarkan pada dua jenjang tersebut tidak jauh berbeda. Bahkan, waktu kelulusannyapun tidak didasarkan pada hasil belajar, tapi berdasarkan masa belajar di sekolah formal pagi harinya.

Hal yang sama tampaknya juga dialami madrasah diniyah yang lain. Mereka belum begitu mementingkan kurikulum yang tertulis. Entah mengapa? Bisa jadi karena ketiadaan biaya dan tenaga yang mampu membuatnya. Harus diakui bahwa selain madrasah diniyah mengalami kendala ketersediaan tenaga pengajar yang profesional, madrasah diniyah juga menjadi lembaga pendidikan yang tidak favorit, alias dinomorduakan sebagaimana halnya dengan nasib pesantren. Jadi pengelolaannya tidak begitu serius.

Memang ada beberapa kreasi pengelola MD ini untuk menarik minat siswa/santri. Misalkan, selain mata pelajaran pokok yang diajarkan di madrasah diniyah seperti cara baca Al-Quran, Imla', Bahasa Arab, Fiqh, Tauhid, dan Tajwid, sebagian MD juga menambah dengan mata pelajaran pelajaran Bahasa Inggris. Begitulah keadaan penyelenggaraan pendidikan jenis ini di Daratan Kalimantan.

Setumpuk Problem Implementasi Kurikulum Di Madrasah Diniyah
Tidak adanya dukungan yang simultan dan berkelanjutan dari instansi yang berwenang, maka penerapan—bahkan penyusunan—kurikulum di MD ini banyak bermunculan. Jika diidentifikasi, setidaknya ada beberapa hal;

Pertama, belum ada kurikulum yang tertulis. Mereka tidak mempunyai panduan dalam penerapan kurikulum tersebut. Namun tujuan utama dari penyelenggaraan madrasah diniyah ini adalah memberikan bekal kepada murid untuk bisa membaca Kitab Suci Al-Quran dengan baik dan benar.

Kedua, kurikulum dipahami hanya sebatas buku-buku yang dipergunakan dan dijadikan acuan belajar. Penjabaran-penjabaran semisal target pencapaian, standar kompetensi, atau pembagian tema-tema setiap pertemuan tidak menjadi hal yang penting.

Ketiga, pendekatan kurikulum yang dipergunakan adalah menamatkan buku secara berurutan dan berjenjang. Seorang ustadz akan mengganti buku pegangannya dengan kitab yang lebih tinggi 'status'nya jika telah menamatkannya. Mereka menyebutnya "untuk tabarukan" (mengambil berkah) dari buku yang dipelajarinya.

Keempat, ketaktersedianya SDM yang tangguh. Para pengelola Madrasah Diniyah di Kalimantan terutama yang jauh dari pondok pesantren banyak dikelola oleh orang tua yang nota bene adalah pensiunan PNS yang dibantu oleh beberapa pemuda setempat yang menjadi asistennya dalam mengajar baca tulis huruf Al-Quran. Atau alumni perguruan tinggi agama yang sedang mengalami masa transisi mencari pekerjaan. Sehingga untuk mengembangkan MD dan menyusun kurikulum, mereka tidak bisa diharapkan.

Apa yang Harus Dilakukan?
Dari beberapa temuan realita di lapangan, setidaknya ada beberapa langkah taktis dan strategis yang perlu diperhatikan untuk semua pihak, yaitu:

Pertama, penyelenggaraan dan pembekalan bagi guru-guru madrasah diniyah tentang materi metode dan strategi pembelajaran yang menarik dan disesuaikan dengan kompetensi daerahnya masing-masing adalah sebuah keharusan. Karena, sebagian besar pengelola madrasah diniyah mengeluhkan ketiadaan kreasi para pengajarnya dalam proses pembelajarannya. Inipula yang mengakibatkan pendidikan diniyah di madrasah diniyah kurang diminati calon siswa.

Kedua, perlu pengiriman buku-buku pelajaran standar madrasah diniyah untuk wilayah-wilayah yang belum mempunyai kurikulum sendiri dan di bawah standar nasional. Jikalau madrasah diniyah yang berada di pondok pesantren telah mempunyai standar kompetensi lulusan, namun dalam madrasah diniyah di tengah masyarakat, standar kelulusan dan juga buku-buku yang dipergunakan sangat terbatas. Sehingga, tidak jarang madrasah diniyah yang ada hanya seperti pengajian biasa yang mengajarkan baca tulis Al-Quran saja.

Ketiga, penyelenggaraan pengawasan, pembinaan dan pendampingan bagi masing-masing madrasah diniyah per region yang tersebar di berbagai wilayah yang meliputi manajemen, pembelajaran dan lain sebagainya. Hal ini dimaksudkan untuk mengontrol perjalanan madrasah diniyah menuju madrasah yang bermutu dan berdaya saing serta berdaya guna bagi masyarakat. Para pengelola mengeluhkan bahwa keberadaan mereka selama ini kurang begitu diperhatikan. Dengan pola pendampingan per region seperti itu diharapkan mutu madrasah diniyah bisa ditingkatkan. Untuk itu, membangun kemitraan (partnership) dengan lembaga akademik lokal seperti perguruan tinggi agama untuk melakukan pendampingan secara terus menerus dan berkelanjutan.

Keempat, perlu dilakukan pemetaan ulang secara komprehensif dan teliti. Sehingga pengklasifikasian masing-masing madrasah diniyah sesuai dengan kenyataannya. Selain tidak sesuai dengan katagori yang ditentukan, masih banyak pula madrasah diniyah yang tidak tercantum dalam data EMIS.

Kelima, membangun kerjasama dengan pemerintah-pemerintah lokal baik tingkat provinsi maupun kabupaten. Hal ini terkait dengan pengalokasian anggaran pendidikan. Beberapa wilayah sangat memperhatikan keberadaan madrasah diniyah. Di wilayah lain, madrasah diniyah tidak diperhatikan sama sekali dan dibiarkan hidup mandiri. Kerjasama dengan pemerintah lokal ini diharapkan—minimal—bisa membantu dalam hal pendanaan dan pemenuhan sarana prasarana serta kegiatan pembelajaran.

Beberapa rekomendasi di atas diharapkan bisa meningkatkan kualitas pendidikan keagamaan di tengah masyarakat. Dan pendidikan agama yang berkualitas bisa menopang pembangunan negara dan bangsa ini. Wallahu a’lamu bis shawab.

sumber: Anis Masykhur, MA ; Alumni PP Salafiyah Al-Ishlah Temanggung Jawa Tengah

http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=189

Tidak ada komentar:

Posting Komentar