Rabu, 11 Maret 2009

3. Anggaran Naik, Kinerja Pendidikan Tinggi "Stagnan"

Jakarta (Suara Pembaruan: 24/08/06) Anggaran pendidikan di dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2007 mencapai angka Rp 51,3 triliun. Jumlah ini khusus untuk pendidikan (dengan definisi yang luas) saja, belum termasuk pengeluaran untuk gaji guru yang menjadi bagian dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk bidang pendidikan, serta anggaran pendidikan kedinasan

Hal tersebut dinyatakan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yu- dhoyono di dalam pidato kenegaraan di hadapan para anggota DPR RI dan para tamu undangan 16 Agustus lalu.
Anggaran pendidikan yang nilainya mencapai Rp 51,3 triliun tersebut sebenarnya mengalami kenaikan yang signifikan apabila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2006 yang sedang berjalan ini anggaran pendidikan kita hanya Rp 43,3 triliun; sedangkan dua tahun sebelumnya, yaitu tahun 2004, anggaran pendidikan kita hanya Rp 15,2 triliun. Tahun-tahun sebelumnya lagi, jelas bahwa anggaran pendidikan kita nilainya kurang dari Rp 15,2 triliun.

Pendidikan Tinggi

Sebagaimana biasanya, anggaran pendidikan berapa pun jumlahnya terus dibagi-bagi dalam beberapa bagian; antara lain untuk bagian pendidikan tinggi, pendidikan menengah, pendidikan dasar, pendidikan luar sekolah, dan sebagainya. Nah, sekarang dari Rp 51,3 triliun tersebut kira-kira berapa rupiah yang akan dialokasikan untuk pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia?

Berdasarkan pengalaman, biasanya pendidikan tinggi mendapatkan alokasi dana sekitar 20 persen dari keseluruhan anggaran pendidikan yang ada. Menurut dokumen UNDP dalam "Human Development Report 2004: Cultural Liberty in Today's Diverse World" halaman 172 s/d 175 dilaporkan anggaran pendidikan tinggi di Indonesia sebesar 23,4 persen dari total anggaran pendidikan. Untuk negara-negara berkembang angka tersebut relatif tinggi karena negara lain mengalokasikannya dengan bilangan yang lebih rendah, seperti Iran 18,5 persen, Meksiko 14,5 persen, Filipina 13,7 persen, dan sebagainya. Kalau di negara-negara maju anggaran pendidikan tingginya memang cukup tinggi seperti Amerika Serikat (AS) 26,5 persen, Swedia 28,0 persen, Denmark 30,0 persen, dan Kanada bahkan mencapai 35,7 persen dari anggaran pendidikan keseluruhan.

Kalau kita mengambil angka 20 persen saja maka anggaran pendidikan tinggi untuk tahun 2007 nanti hanya sekitar Rp 10,3 triliun. Kalau angka ini dibagi dengan jumlah mahasiswa di Indonesia, sekitar 3,5 juta, maka setiap mahasiswa hanya mendapat subsidi sekitar Rp 3 juta. Apakah dana Rp 3 juta tersebut cukup untuk mengembangkan mahasiswa secara memadai? Jawabnya tentu tidak, karena anggaran maha-siswa standar nasional mencapai Rp 18,1 juta per mahasiswa per tahun. Jadi untuk mencapai mutu standar nasional saja masih diperlukan dana yang sangat banyak; angka 3 juta tersebut belum ada seperlimanya.

Itulah sebabnya biaya pendidikan tinggi di Indonesia yang harus dipikul oleh yang bersangkutan memang tinggi sampai sekarang. Demi memperhatikan angka-angka tersebut maka cara yang ditempuh oleh beberapa PTN dengan membuka Jalur Khusus, Jalur Non-SPMB, "Jalur Tol", dan seterusnya, sepertinya bisa kita maklumi meskipun hal itu masih menjadi polemik sampai sekarang.

Stagnan

Kalau angka Rp 2,94 juta untuk anggaran per mahasiswa kita per tahun dirasa kecil, apakah ada negara yang mengalokasikan anggaran yang memadai bagi mahasiswanya? Kalau kita teliti secara cermat memang banyak negara yang rela mengalokasi anggaran secara memadai bagi para mahasiswanya. Malaysia saja konon mengalokasi anggaran mahasiswanya sebesar Rp 114 juta per mahasiswa per tahun; sedangkan Singapura mencapai Rp 200 juta.

Dari angka-angka ini kiranya kita bisa maklum kalau mutu perguruan tinggi di Indonesia umumnya lebih rendah dibanding perguruan tinggi di mancanegara. Dalam "Top 500 World Universities" yang dipublikasi oleh Shanghai Jiao Tong University (2004) tidak satu pun perguruan tinggi Indonesia yang tampil. Australia yang pendidikannya hebat saja hanya ada beberapa perguruan tinggi yang masuk dalam daftar tersebut; antara lain Australian National University (ANU) di ranking ke-53 dan University of Melbourne di ranking ke-82. Universitas kita yang hebat seperti UGM Yogyakarta, UI Jakarta, dan ITB Bandung pun tidak masuk hitungan.

Beberapa pengamat seperti Murakami Mutsuko, Law Siu-lan, Laxmi Nakarmi, dan lain-lain, dalam "The Top 10: The Best of Asia's Best" juga tidak mau memasukkan satu pun perguruan tinggi dari Indonesia. Kesepuluh perguruan tinggi yang dianggap baik semuanya berasal dari negara tetangga kita seperti University of Tokyo, Tohoku University, University of Hong Kong, University of New South Wales, dan sebagainya.
Lalu bagaimana dengan "Best University Websites" yang diracik oleh asosiasi WebAward (2006)? Adakah perguruan tinggi Indonesia yang pernah mendapatkan penghargaan dari asosiasi tersebut? Oh tidak! Satu pun perguruan tinggi kita tidak pernah ada yang mendapatkan penghargaan.

Adapun perguruan tinggi yang pernah mendapatkan penghargaan antara lain adalah San Diego States University, University of Houston, The George Washington University, dan sebagainya. Bagaimana dengan perguruan tinggi di Indonesia yang bagus pengembangan teknologinya? Tidak, tak ada yang pernah menerima penghargaan.
Nah ..., apakah dengan anggaran Rp 3 juta per mahasiswa per tahun kita dapat meningkatkan kinerja pendidikan tinggi di Indonesia? Bisa, tetapi tidak seberapa peningkatannya. Kinerja pendidikan tinggi di Jepang umumnya memang bagus karena anggaran pendidikan tingginya hampir 100 kali anggaran pendidikan tinggi kita.

Jadi, meskipun anggaran pendidikan kita naik secara signifikan nilai mutlaknya tetapi kinerja pendidikan tinggi kita akan stagnan!

sumber
Penulis adalah Ketua Majelis Luhur Tamansiswa mantan anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) dan Sekretaris Komisi Nasional Pendidikan Indonesia http://www.sampoernafoundation.org/content/view/461/322/lang,id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar